Bagian 6: Mengejar Waktu

156 13 1
                                    

"Ga balik ke sekolah, Lis? Katanya kelas lo ada ulangan Sosio,"

Perempuan yang tengah mengetikkan sesuatu di ponselnya itu terperanjat. Ponselnya bahkan terlempar ke lantai. Belum lima detik berlalu, ia ambil ponselnya untuk mengecek jam. Ia terdiam selama beberapa detik, kemudian menyadari kalau apa yang baru saja diucapkan oleh Ivana-teman satu timnya-benar juga.

Buru-buru ia rapikan barangnya yang masih berserakan di ruangan tersebut. Yakin tidak ada barangnya yang tertinggal, ia pun bangkit dan mengucapkan terima kasih kepada temannya sebelum melesat keluar ruangan. Masa bodoh dengan toner yang ia korbankan untuk satu tim, yang penting ia tidak mengikuti susulan Ulangan Harian Sosiologi.

Masih sayang dengan toner-nya, ia pun kembali menampakkan wajahnya di ruangan yang baru ia tinggalkan. "Toner gue jangan lupa dibalikin, ya, baru beli kemarin soalnya!"

Tidak menutup kemungkinan adanya acara kasak-kusuk setelah kepergiannya. Ia pun tidak heran kalau orang-orang bingung dengan apa yang terjadi padanya hari ini. Jelas, setiap orang dalam ekstrakurikuler Tari Tradisional-biasa disebut Tatra-tahu bahwa anggota yang bernama Lisa, bagian dari kelas XI IPS 2, menolak keras acara kembali ke sekolah setelah lomba. Sebuah anggapan yang muncul dari pikirannya, tetapi ia langgar juga pada hari ini.

Satu alasannya. Lisa tidak ingin mengikuti susulan Ulangan Harian Sosiologi. Katakanlah bahwa ia sudah termakan duluan oleh isu bahwa Bu Sukma-guru Sosiologi kelas XI-akan memberikan soal yang jauh lebih sulit kepada murid yang mengikuti ulangan susulan. Meskipun ia tahu bahwa kabar tersebut belum tentu benar, tetap saja ia takut.

Masalahnya, ia hanya membaca materi setelah tahu bahwa soal ulangan kali ini berbentuk pilihan ganda-yang berarti ia bisa menggunakan metode tang-ting-tung dalam mengerjakannya.

Perempuan berambut panjang itu berulang kali melihat rangkaian angka yang tertera di layar kunci ponselnya. Panik-panik ajaib di pinggir jalan raya, di bawah langit kelabu yang menaunginya. Bibirnya komat-kamit, mengucap doa agar ia tidak terlambat tiba di sekolah karena kalau sedang rajin, Bu Sukma akan datang tepat waktu.

Matanya berbinar ketika angkot berwarna biru muncul dari kanan jalan. Tanpa pikir panjang, ia memberhentikan angkot tersebut dengan telunjuknya. Beruntunglah pada siang itu supir angkot menyadari keberadaan telunjuknya sehingga ia dapat masuk ke angkutan yang masih belum banyak penumpangnya karena mungkin, memilih untuk putar balik daripada menuju ke terminal. Bukan sedikit lebih tepatnya, melainkan hanya ia sendiri.

Ia mengernyitkan dahinya, heran dengan keadaan macam apa yang membuatnya terjebak sendirian di dalam angkot biru ini. Sungguh, ia heran. Baru beberapa meter angkot melaju, ia melihat gerombolan ibu-ibu di pinggir jalan yang sedang menunggu angkutan umum-ia benar-benar mendengar percakapan beberapa orang itu dan ia yakin bahwa dirinya tak salah dengar. Anehnya, tidak satu pun dari mereka yang menanggapi klakson angkot dengan anggukan, padahal masih ada sisa bangku apabila mereka masuk.

Daripada ambil pusing dengan urusan ini, Lisa mengeluarkan ponsel miliknya dari saku seragam. Ia mulai berceloteh di grup khusus perempuan dalam kelasnya, bertanya-tanya apakah Bu Sukma sudah datang atau apakah bel berakhirnya istirahat kedua sudah berdering. Tidak ada jawaban yang mengarah kepada kata 'ya', yang berarti bahwa ia masih bisa tenang.

Merasa gerah, ia pun membuka jendela angkot yang tertutup. Ia biarkan angin sepoi-sepoi yang membawa rintik hujan membelai rambutnya. Suasana yang menurutnya bagus untuk menemani acara membaca materi yang akan diujikan.

Rupanya bukan hanya Lisa yang menganggap bahwa suasana seperti ini adalah suasana terbaik untuk melakukan aktivitas yang tidak membutuhkan banyak tenaga. Lelaki yang entah dari mana datangnya pun berpikiran sama. Lelaki yang memanfaatkan keadaan ini untuk menarik ponsel Lisa secara kasar dan tanpa membuang waktu, menodongkan silet-yang entah mengapa diyakini Lisa sebagai barang curian juga-kepadanya.

Meskipun panik, tetap saja hal yang pertama dilakukan Lisa adalah memerhatikan orang tersebut sambil mengucap, "เย็ด". Dengan demikian, orang yang mengganggunya akan bertanya-tanya dan tentu saja ia akan menggunakan kesempatan ini untuk mengambil kembali ponselnya. Ternyata berguna juga tiga tahunnya di Thailand dalam jangka waktu yang panjang.

"Kiri, Bang!" teriak Lisa di tengah usahanya untuk melepaskan diri dari lelaki yang kini menarik seragamnya. Sial, angkot yang ia tumpangi tak kunjung berhenti juga, padahal ia yakin bahwa supir angkot mendengarkan perintahnya. Sekali lagi ia berteriak, "Kiri!"

Sadar kalau usahanya sia-sia, ia pun melempar selembar uang dua ribuan yang telah ia siapkan di saku seragam. Tidak peduli dengan angkot yang terus melaju, ia pun melompat turun dari sana. Masa bodoh dengan copet yang mengganggunya, yang penting ia selamat.

Ia melihat layar kunci ponselnya untuk yang kesekian kalinya, mengecek sisa waktu sebelum bel masuk berdering. Lima menit lagi. Tidak cukup waktunya untuk menyeberang lalu naik ojek atau jalan kaki. Ia pun memutuskan untuk menyeberang-ia tidak cukup bodoh untuk menyadari bahwa angkot yang ia tumpangi berhenti di depan Puskesmas dan bisa jadi ia akan dikejar lagi-dan bernaung di bawah bank sambil menunggu kedatangan orang yang ia hubungi.

Kalau begini kondisinya, memang tidak ada pilihan lain selain menghubungi lelaki yang mungkin saja akan meminta bantuannya saat ulangan nanti. Lagi pula, memangnya ada lelaki lain yang dapat dihubungi oleh orang yang tidak dekat dengan jenis manusia tersebut sepertinya? Kalau ada, paling juga tidak akan berani kabur secara mendadak. Cih.

"Halo?" Lisa mengecek kehidupan di seberang sana ketika ia mendengar suara kresek-kresek layaknya plastik hitam dari warung. "Gue di BTN, bisa jemput ga? Buruan, diawasin maling gue,"

"Sip,"

Percakapan berakhir tepat ketika ia menginjakkan kakinya di depan bank. Sambil menunggu kawannya, ia duduk dan meluruskan kakinya. Kalau bukan karena ulangan, pasti ia masih berleha-leha di sekolah orang sambil menunggu toner-nya kembali, bukan panik-panik ajaib di depan bank sambil membaca materi Sosiologi.


memperkenalkan

Lisa, pencetus  aliran "Anti Balik ke Sekolah Setelah Lomba" yang melanggar keyakinannya demi Ulangan Harian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lisa, pencetus aliran "Anti Balik ke Sekolah Setelah Lomba" yang melanggar keyakinannya demi Ulangan Harian

saorsaWhere stories live. Discover now