Bagian 19: Kejutan

108 10 6
                                    

Katanya, jadi mahasiswa Teknik sama artinya dengan harus siap nugas tanpa henti. Katanya.

Mau anggapan itu benar atau tidak bagi orang lain, menurut Alda sendiri anggapan itu benar. Kelewat benar malah. Ia memang disibukkan dengan tugas sejak semester pertama. Tugas ospek, tugas dari dosen, dan tugas-tugas lain yang terus mengalir layaknya kasih ibu kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa. Kalau nikmat ia tak apa-apa, masalahnya ini enak dari sudut mananya, ya? Dikerjakan membuatnya pusing, dibiarkan malah membuatnya makin pusing.

Alda bukan mahasiswa yang menyerahkan kehidupannya kepada tugas, bukan. Akan tetapi, ia lebih heran dengan mereka yang sempat-sempatnya pacaran di tengah tugas yang menumpuk. Bahkan level keheranannya jauh lebih tinggi daripada Ayu yang jelas-jelas mengabdi kepada tugas. Ia paham kalau orang-orang itu mencari penyegaran dengan pacaran, tetapi ia tidak paham bagaimana mereka mendapatkan pacar.

Bukan berarti Alda mau cari pacar juga, ya. Ia hanya heran mengapa orang-orang itu bisa mendapatkan pacar. Sebenarnya ia ingin menyontek cara mereka. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk Jovi yang jiwa jomblonya terlihat makin jelas belakangan ini. Sebagai teman yang baik, tentu saja Alda ingin membantu lelaki itu karena pertama, ia tidak ingin Jovi terlihat seperti lelaki single yang mengenaskan dan kedua, mana mau ia dikira pacaran dengan Jovi saking seringnya mereka terlihat bersama.

Sayang, hingga detik ini Alda tidak pernah mendapatkan tips itu. Beberapa temannya memang ada yang mendapat pacar dengan semudah itu, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang rela berbagi tips mendapatkan pasangan hidup kepada Alda. Ada sih, hanya saja mereka meminta imbalan. Kalau maunya ditraktir mi yamin Alda masih bisa terima, masalahnya yang disebut malah yang harganya tidak sesuai dengan kantung mahasiswa. Tahu begini ia cari saja buku yang memuat 101 cara untuk mendapatkan pacar dalam waktu singkat.

Sekali lagi, Alda tidak berencana mencari pacar untuknya dalam waktu dekat, tetapi ia berencana mencarikan Jovi pacar.

Kalau saja salah satu temannya tidak mengira dirinya dan Jovi berpacaran, Alda tidak akan mati-matian mendapatkan tips ini. Sayangnya, yang terjadi adalah demikian. Salah satu teman di kampus menyangka bahwa Alda dan Jovi berpacaran saking seringnya mereka terlihat bersama. Sudah tak terhitung berapa kali keduanya terlihat makan bersama di kantin. Di kantin saja sering terlihat bersama, apalagi di luar kantin. Sesering itu.

Sebenarnya Alda ingin menyuruh Jovi untuk tidak terlalu sering menghampiri dirinya, tetapi niatnya batal. Lagi pula teman dekat Jovi ketika SMA yang satu fakultas dengannya ya, hanya Alda. Coba, siapa lagi memang kalau bukan Alda? Arya? Beda level, hehe.

"Ini orang ke mana, sih?"

Saat ini Alda berdiri di depan kantin, menggerutu sambil menatap layar ponselnya karena lelaki itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Mohon maaf, ia sudah berkata kalau dirinya akan tiba di kantin pada pukul sebelas siang—sepuluh menit setelah kelas selesai—dan Jovi jelas-jelas mengiyakannya di Line. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit dan belum ada tanda-tanda kehadiran Jovi. Kalau sampai lima belas menit lagi lelaki itu tidak muncul, ia angkat kaki dari sini.

"Woi!"

Sosok yang Alda tunggu berdiri sekitar tiga meter di depannya, melambaikan tangan supaya terlihat. Alda menyipitkan matanya, mengecek kalau itu benar Jovi atau temannya yang lain. Oh, benar ternyata. Lelaki yang semasa SMA itu sering ke koperasi untuk membeli pulsa—membelikan teman-temannya pulsa jugaitu melangkah dengan riang dan kemudian dapat ditebak apa yang terucap olehnya.

"Kelasnya tadi ngaret, sori ya," ujar Jovi. Ia memang minta maaf, tetapi setelahnya langsung haha-hehe seperti ada yang perlu ditertawakan. Biasa, receh.

saorsaWhere stories live. Discover now