Bagian 9: Bahagia Adalah

159 12 0
                                    

Hal pertama yang ia lakukan setelah keluar dari rumah makan adalah menyipitkan mata. Tak ia sangka bahwa cahaya matahari langsung menyerang penglihatannya ketika ia menatap dunia luar. Ia benar-benar tidak menduga hal tersebut akan menimpanya meskipun ia sadar akan betapa kurang ajarnya cuaca pada hari ini.

Juniar memang bukan Abel yang membenci matahari dengan sepenuh hati. Toh, ia tahan dengan panasnya yang menyengat, bahkan ia sering sekali berpanas-panasan demi mengejar kemenangan. Akan tetapi, kasus ini tidak dapat disamakan dengan kebiasaannya. Biasanya, ia diserang panas ketika melakukan kegiatan yang tidak usah menggunakan banyak energi dari otak. Kali ini, ia baru saja selesai melakukan sesuatu yang membuat otak panas dan panas menyerangnya. Kurang ajar.

Kalau boleh memilih, Juniar lebih suka memanfaatkan hari Minggu untuk berdiam di rumah. Ia jelas lebih suka bersembunyi di rumah pada hari Minggu sebelum kembali ke markasnya pada keesokan harinya. Sayang, pertemuan yang sudah ia janjikan dengan seseorang berlangsung pada hari ini, merenggut siangnya yang tenang, dan membuatnya mau tak mau meninggalkan kasurnya yang empuk.

Setidaknya Juniar mendapatkan satu pelajaran dari pertemuan itu-perempuan adalah makhluk yang penuh dengan ide gila.

Ia berdiri di pinggir jalan dan bertanya kepada dirinya sendiri, "Abis ini gue mau ke mana?". Terlalu banyak pilihan di tempat di mana ia berada sekarang. Ia bisa saja berkunjung ke rumah makan atau kafe lainnya, pergi ke tongkrongannya yang mungkin saja sepi, atau ke sekolahnya yang berada di seberang jalan meskipun ia tahu tempat itu sangat sepi. Dari banyaknya pilihan di kepalanya, ia pun memilih untuk menuju ke halte bus.

Entah apa yang membuatnya benar-benar menyeberangi jalan dan melanjutkan perjalanan menuju halte bus. Ia tidak tahu. Bahkan ia pun tidak tahu atas dasar apa ia menuju ke halte dan ingin ke mana dirinya setelah sampai di sana. Langkah kakinya sendiri tak menginginkan pemiliknya untuk kembali ke rumah. Tanggung, sore tinggal beberapa jam lagi. Pikirannya mengatakan hal yang serupa dan kenyataannya, ia pun tidak tahu ke mana harus melangkah setelah sampai di sana.

Pada akhirnya, ia pun memutuskan ke mana dirinya akan pergi setelah ini. Ke mana lagi kalau bukan ke rumah Malik, kawannya yang paling disegani di jalanan. Satu-satunya tempat berdiam diri yang paling baik selain rumahnya sendiri.

Memang tidak banyak orang yang berjalan di trotoar pada siang hari itu. Selain karena hari ini adalah Minggu, panas yang terlampau terik mungkin membuat mereka malas untuk keluar rumah. Ia pun hanya melihat dua orang perempuan yang berjalan tak jauh di depannya, itu pun dengan payung.

Penasaran dengan dua sosok yang tak asing lagi di matanya, Juniar pun diam-diam memerhatikan mereka. Sesekali berharap salah satu dari keduanya menoleh agar ia dapat memastikan siapa sosok yang bernaung di bawah payung. Ia merasa kenal dengan keduanya, jadi rasa penasaran ini muncul dalam benaknya. Berulang kali pula ia bertanya kepada diri sendiri, siapa mereka? Berulang kali pula jawaban yang ia dapat dari pikirannya adalah dua nama murid sekolah sebelah, yang tak lain adalah salah satu sekolah yang menjadi musuhnya.

Ia memang terlihat tenang ketika melangkah, tetapi sesekali ia sengaja berjongkok atau berpindah ke sisi yang ia anggap memudahkan dirinya untuk melihat sosok di balik payung. Maklum, ia terlalu penasaran dengan dua perempuan itu dan diam-diam berharap kalau nama yang ada di otaknya adalah salah satu dari mereka. Ah, tampaknya ia ini sedang senang dengan orang-yang seharusnya tidak ia sukai-itu sampai-sampai ia melakukan usaha sekeras ini.

Tidak mengherankan kalau rasa bahagianya terpancar jelas di wajahnya ketika ia mendengar namanya disebut oleh salah satu dari mereka yang ada di bawah payung. Seperti orang yang memenangkan undian berhadiah, senang betul dirinya ketika ia mendengar namanya. Tetap saja senang meskipun yang ia dengar bukan apa yang ia harapkan.

"Denger namanya aja gue ogah,"

Derai tawa yang mengiringi kalimat tersebut terdengar olehnya. Ah, sudah biasa. Ia sudah biasa mendengar kalimat dengan nada menyebalkan yang ditujukan oleh perempuan itu untuknya. Meskipun menyakitkan, tetap saja hal seperti ini membuatnya bahagia. Setidaknya perempuan itu dapat melupakan sejenak lelaki berengsek yang dikaguminya dengan membicarakan orang yang tidak ia suka.

Matanya yang tak lepas dari dua perempuan di bawah payung itu akhirnya bertemu pandang dengan salah satu di antara mereka. Bertemu pandang dengan dia yang tersenyum dengan isyarat "oke" yang dibuat oleh tangan kanannya. Dia yang membuat Juniar berpikir kalau perempuan itu penuh dengan ide gila dan sepertinya ia harus menambahkan bahwa mereka memperlakukan ide gila itu sebagai sesuatu yang menyenangkan.


memperkenalkan

Juniar, dengan segala kelakuan dan pikirannya pada Minggu siang ini yang tidak mudah untuk dipahami-kecuali kalian mengetahui ada apa di baliknya

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Juniar, dengan segala kelakuan dan pikirannya pada Minggu siang ini yang tidak mudah untuk dipahami-kecuali kalian mengetahui ada apa di baliknya.

saorsaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant