2

5.1K 228 3
                                    

Aku berjalan menuju kamar mas zaidan yang terletak di lantai 2. Rumah ini mempunyai 4 kamar tidur dengan ukuran yang cukup luas. Dua kamar terletak di lantai atas dan dua kamar terletak di lantai bawah. Dua kamar di atas adalah kamar Qia dan Mas Zaidan. Si kecil Attar masih tidur bersama Mas Zaidan. Sedangkan dua kamar di bawah digunakan untuk ruang kerja Mas Zaidan dan kamar tamu.

Ketika aku membuka kamar Mas Zaidan aku melihat design interior yang begitu elegan dengan dominan warna hijau tua. Tentu saja designnya elegan, mengingat Mas Zaidan adalah seorang arsitek sekaligus design interior, benar-benar hebat suamiku itu,bukan hanya bisa membangun sebuah bangunan, tapi juga bisa mendesain dengan bagus isi bangunannya. Eh, bolehkah aku menganggap dia suamiku sekarang?

Di kamar ini ada sebuah tempat tidur king size, tempat tidur box bayi, sebuah lemari besar dan lemari kecil, meja rias, sofa dan juga kamar mandi dalam. Diatas kepala ranjang tempat tidur masih terpajang foto pernikahan Mas Zaidan dengan Mba Risa. Seyum kedua pengantin itu terlihat sangat bahagia dan siapa pun yang melihatnya pasti bisa berkata bahwa dua sejoli itu saling mencintai. Selain itu, juga terdapat beberapa foto kebersamaan mereka dengan anak-anak, terlihat sangat natural dan bahagia. Apa aku bisa menjadi bagian dari keluarga ini?

Aku pun melangkahkan kaki menuju box bayi. Didalamnya Attar tidur dengan pulas, sangat menggemaskan khas bayi. Awalnya aku ingin menggendongnya. Namun khawatir membangunkan, aku urungkan niatku itu. Aku hanya mengelus pipi gembulnya dan berdoa semoga anak ini bisa menerimaku sebagai ibunya. Aamiin.

Aku pun langsung membuka koper dan membuka lemari dengan pelan berusaha untuk tidak berisik, takut mengganggu tidur Attar. Tunggu dulu. Lemari ini penuh. Masih ada baju-baju almarhummah mba risa disini. Lalu dimana aku harus menyimpan baju-bajuku ini? Ketika sedang bingung memikirkan solusinya, pintu kamar terbuka, aku pun menoleh. Ternyata Mas Zaidan yang masuk. Aku pun membuka obrolan untuk menghilangkan kecanggungan ini.

"Qia sudah tidur Mas?"

"Sudah, inget ya La, kamu jangan memaksakan diri dengan anak-anak. Kalo memang mereka tidak mau memanggil kamu mama, biarkan saja. Toh kamu hanya ibu pengganti bagi mereka. oh iya, besok saya langsung masuk kerja. Saya gak ambil cuti karena kantor lagi sibuk."

Deg! Ucapan Mas Zaidan bagaikan pedang yang menghujam tajam ke arah hati. Perih. Ya memang benar aku ibu pengganti mereka. Tapi, apa tidak ada kemungkinankah sedikit pun mereka bisa menerimaku?

"Baik, Mas."ucapku.

"Oh iya saya lupa ngasih tau kamu. Tolong jangan ubah apapun letak yang ada di kamar atau rumah ini. Ini semua saya desain atas kemauan Risa. Baju-baju kamu bisa taruh di lemari kamar tamu aja. Jangan sentuh barang Risa sedikitpun ya Ela."ujar Mas Zaidan memperingatkan.

"Tapi Mas, kalo bajuku disimpan di kamar tamu nanti aku kesulitan bolak-balik naik turun untuk mengambil bajuku."ucapku.

"Terserah itu buka urusan saya. Atau kalau ingin tetap simpen di koper juga gak masalah."ujar Zaidan sambil mengambil baju bersih dan melangkah menuju kamar mandi. Tak lama terdengar suara gemericik air.

Ya Allah, aku harus gimana. Aku pun melihat kembali isi lemari. Ternyata masih bisa untuk menyimpan beberapa baju rumahan. Baju-baju yang tidak sering aku pakai akan aku simpan di kamar bawah saja.

Setelah menyimpan baju di kamar bawah, aku pun kembali ke kamar dan mendapati Mas Zaidan telah tidur di kasur. Aku pun bergegas untuk mandi dan sholat, setelah itu aku mencium Attar dan bergabung dengan Mas Zaidan di tempat tidur. Kami tidur saling memunggungi.

===

Lima belas menit sebelum adzan subuh berkumandang, aku telah terbangun. Reflex, aku menuju box bayi melihat si kecil Attar, tidurnya masih pulas. Malam pun dia tidak terbangun menangis. Aku bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu dan memakai mukena. Setelah itu aku membangunkan Mas Zaidan.

"Mas ayo bangun, sudah mau subuh."

"Engggghhh...jam berapa sekarang?"tanyanya sambil menggeliatkan tubuhnya dan menguap.

"Jam setengah 5, 10 menit lagi subuh. Mas mau sholat di rumah atau di masjid?"tanyaku.

"Di masjid aja"ujarnya dingin.

Begitu adzan subuh berkumandang aku pun segera menunaikan shalat subuh dan tak lupa berdoa agar Allah mau membukakan hati suami dan anak-anakku juga berdoa untuk keberkahan rumah tanggaku dunia akhirat. Aamiin.

Beres sholat aku merapikan tempat tidur, lalu mendapati si kecil Attar menangis. Aku pun langsung menggendongnya. Sepertinya Attar haus, karena popoknya masih kering. Aku pun menuju dapur untuk membuatkan susu. Didapur sudah ada Bi Marni dan Bi Eti yang sedang menyiapkan sarapan.

"Assalamu'alaikum bi."ucapku sambil tersenyum.

"Wa'alaykumussalam, eh ibu. Den Attar nangis ya? Ini saya baru mau ke atas ngasih botol susu. Kebiasaan den attar memang begitu bu, setiap bangun pagi pasti langsung nyari susu."jelas bi marni.

"Oh gitu bi, sini biar saya yang kasih susunya."ucapku sambil meraih botol susu dari bi marni. Tak lama tangis attar pun reda. Benar rupanya bayi ini kehausan.

"Oh iya Bu, kenalkan ini Bi Eti yang bantu masak sama beberes rumah. Kalo Bi Eti pulang pergi Bu, karena rumahnya ada di kampong belakang komplek ini."ujar Bi Marni.

"Oh iya, salam kenal Bi."ucapku sambil tersenyum. Ketika kami sedang berbincang di meja makan, Mas Zaidan pulang dari masjid. Menyapa kami sebentar dan langsung naik ke kamar atas membangunkan Qia. Aku pun langsung menuju ke ka atas sambil menggendong attar. Aku kembali meletakkan Attar di box, kemudian menyiapkan pakaian kerja untuk mas zaidan. Smoga ia mau memakainya. Aku pun memutuskan untuk mengelap badan Attar, mengganti popok dan bajunya. Tadi, Bi Marni sudah memberitahu beberapa kegiatan rutin yang dijalankan oleh keluarga ini setiap harinya. Aku pun tersenyum senang sambil mencium Attar yang wangi khas bayi, minyak telon bercampur bedak.

Tak lama Mas Zaidan masuk ke kamar.

"Mas, aku mau ke bawah sarapan ya sama Attar. Pakaian kerjanya udah aku siapin."

"Hmmm..."ia hanya menjawab dengan gumaman.

Sebelum turun ke meja makan. Aku mendatangi kamar Qia. Namun kamar itu sudah kosong. Sudah di meja makan sepertinya. Tepat sekali seperti dugaanku, gadis kecil itu sedang sarapan sereal ditemani Bi Marni.

"Assalamu'alaykum Qia."ucapku. namun ia hanya diam tidak menjawab salamku.

"Eh non Qia, dijawab dong salami bunya. Dosa loh."ujar Bi Marni.

"Waalaikumsalam."ucapnya ketus.

Aku pun hanya bisa tersenyum miris melihat tingkah lakunya. Berusaha tak memasukkan perlakuan Qia dalam hati, aku pun segera menyuapi Attar dengan pure yang sudah disiapkan. Tak lama kemudian, Mas Zaidan menghampiri kami ke meja makan. Aku kecewa melihat pakiannya, berbeda dengan yang sudah aku siapkan tadi. Ah, yasudahlah. Mungkin saat ini hanya Attar yang bisa menerimaku. Itu pun karena dia masih bayi dan belum mengerti apa-apa. Apa kalo dia sudah sebesar kakaknya akan juga menerimaku? Entahlah.

Selesai sarapan, Mas Zaidan mengantar Qia ke sekolah. Aku meminta tangannya sebagai tanda baktiku sebagai istri. Untung saja ia tidak menolak, aku pun mencium tangannya dengan takzim, kedua kali setelah akad nikah.

"Ayo Qia salam dulu sama tante Ela."ucap Mas Zaidan.

"Gak mau yah."

"Eh, anak ayah yang cantik gak boleh gitu sayang. Ayo cepat salam dulu."

Dengan terpaksa Qia menuruti perintah ayahnya. Aku pun dengan senang hati menyambut tangan Qia sambil tersenyum senang.

"Hati-hati ya di sekolah. Belajar yang rajin ya sayang."ucapku sambil mengelus kepalanya.

Akhirnya mereka berdua pun masuk mobil dan pergi meninggalkan rumah.

Ya Allah,kuatkan aku meski mendapat banyak penolakan dari ayah dan anak itu.

To be continue

Senandung Cinta ElanaWhere stories live. Discover now