Lust

6 1 0
                                    

Lust
By. Devin Elysia Dhywinanda

Gadis berseragam SMP itu masih mempertanyakan banyak hal—salah satunya, larangan perceraian yang dirasa hanya menambah luka umat Allah—sampai aku menghela napas.

Para jemaat memang biasa datang dan berkonsultasi pada Rama. Kalaupun berhalangan, peran tersebut bakal dialihkan pada Suster Selena serta Bruden Petrus. Ketiga orang itu—para Mempelai Gereja—adalah manusia pilihan yang mengabdikan hidupnya untuk cinta kasih manusia dan pantang bergelut dalam nafsu dunia. Tutur kata mereka amat lembut, santun, sekaligus persuasif, berbeda sekali denganku yang sukar memilah kata-kata meski berperan sebagai asisten Rama. Oleh karena itu, aku lebih suka mendengarkan kisah para jemaat dari kejauhan ketimbang memberi saran.

Sayangnya, hari itu Rama jatuh sakit sehingga mau tidak mau aku pun menggantikan peran beliau untuk mendengarkan kisah Seilla. Yah, walaupun aku lebih memilih diam ketimbang menanggapi ceritanya, sih. Jaga-jaga agar tidak ada komplain perihal 'asisten Rama bermulut harimau'.

Namun, lama-lama aku pun risi melihatnya.

Seilla mengepalkan tangan. "Iya, aku tahu pandangan orang dewasa berbeda dengan anak kecil. Namun, itu bukan berarti mereka bisa mengesampingkan pendapat kami dengan mudah, 'kan?" Bahunya bergetar.

"Aku hanya ingin Papa dan Mama ngobrol sambil tersenyum; Mama berhenti berprasangka buruk, dan Papa berhenti berteriak setelah pulang kerja. Salahkah bila seorang anak ingin orangtuanya bahagia?" Ia terisak.

Aku menggerutu. 'Lain kali, aku harus memperhatikan betul kesehatan Rama agar tidak terjebak situasi semacam ini.'

Aku melipat tangan. "Dengar, mungkin ini sedikit kasar, tetapi itulah faktanya. Orang dewasa punya masalah sendiri; 'dosa' yang terpaksa mereka lakukan; serta alasan yang disembunyikan dari anak kecil. Itu tidak salah, tetapi juga tidak perlu kauamini."

Ia menengadah. Mengerjap.

"Kalau memang tidak setuju, bilang saja pada orangtuamu. Buat mereka mengerti bahwa 'kau ingin kalian kembali bahagia'. Kalau memang ada orang ketiga, datangi dan tegaskan bahwa 'ini adalah keluargamu'." Aku menarik napas. "Bukannya tidak boleh bercerai ... kita hanya harus berpikir secara dingin sebelum menyelesaikan suatu hubungan agar tidak menyesal akhirnya."

Mata bulatnya memandangku lucu. Ia mengerjap beberapa kali, lalu memamerkan senyum kelincinya. "Aku mengerti apa yang harus kulakukan. Terima kasih, Tuan!"

Gadis itu beranjak dengan bersemangat, lalu menghilang di balik pintu utama. Sepersekian detik kemudian, seorang wanita bertubuh ramping dalam balutan terusan hitam dan penutup kepala putih muncul dari bilik penebusan dosa. Wajahnya kentara lelah, tetapi aku berkali lipat lebih susah.

Aku mendengus. "Anda sudah mendengarnya, 'kan? Jadi, bisakah Anda hentikan permainan kucing-kucingan ini, Suster?"

(*)

Ponorogo, 13 September 2018

Kumpulan Flash FictionWhere stories live. Discover now