Part 1

110 8 16
                                    

"Pantas saja, dia memperlakukanmu sangat berbeda." Suara parau itu terdengar amat menyedihkan, menatap lawan bicaranya dengan mata berkaca-kaca.

"Aku ha-hanya ... aku pikir kau or-ang yang ...."

Rasanya sesak sekali di sana. Dadanya! Mengetahui kenyataan bahwa ....

*****

Dengan langkah mantap, wanita berusia nyaris kepala tiga itu menaiki undakan tangga kecil memasuki halaman lobi perusahaan tempat ia bekerja. Keadaan kantor masih sangat sepi karena waktu masih menunjukkan pukul 07.00 pagi. Satpam yang berjaga di depan pintu dengan sigap tersenyum dan membungkukkan sedikit badannya.

"Pagi, Mba Airen," sapanya sembari membuka pintu lobby, mempersilakan wanita yang disapanya itu untuk masuk.

"Emm ... ney, ney, ney ...," sanggah wanita tersebut. "Kurang lengkap atuhlah, panggilannya, Pak," Bibirnya yang tipis dan dipoles lisptik nude itu mengerucut, pura-pura ngambek.

"Hooo ... maap, lupa mbaknya. Selamat pagi, Mba Airen yang tsakep paripurna." Ulangnya kembali.

"Nahhh, baru, deh. Pagi juga, Pak Darman yang tsakepnya paripurna," balasnya dengan senyum lebar yang membuat pria paruh baya tersebut menggelengkan kepala geli.

"Goyang sitik joss," tambahnya nyeleneh yang disambut tawa Pak Darman. Keduanya terlibat pembicaraan, tak lama, hanya sekedarnya dan setelahnya wanita tersebut melanjutkan langkahnya.

"Mbaa, hati-hati di atas," seru pak Darman tiba-tiba ketika Airen masuk ke dalam lift.

"Pak Darmannn ...," teriaknya saat pintu lift nyaris menutup. Yang benar saja, Airen tak ingin bertemu dengan roh penghuni lantai teratas. Kurang asem, pak Darman.

Namanya Airen, Airen Napitupulu lengkapnya. Sudah lebih dari delapan tahun ini bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan terbesar di ibukota. Membuatnya mau tak mau harus tiba di kantor terlebih dahulu. Satu jam sebelum jam kantor dimulai atau terkadang bisa lebih pagi, jika ada pertemuan penting.

Menuntutnya untuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum bos besar datang. Ketika OB berperan dalam membersihkan seluruh kantor, maka di perusahaan ini ada sedikit perbedaan. Selain menjadi sekretaris, tugasnya juga nyaris seperti OB--office boy. Dan Airen rasanya ingin mengumpat saat awal pertama kali bekerja di sini. Karena demi apa pun, Airen adalah manusia termalas di dunia.

Mendesah kasar, Airen meletakkan barang-barangnya ketika sampai di mejanya. Dan langsung menatap layar monitornya, beberapa notes telah tertempel manis di sana. Berisi hal-hal yang harus ia lakukan. Dan satu notes membuat Airen rasanya ingin bakar ban. Notes yang berasal dari seseorang yang selalu membuatnya emosi jiwa raga. Bleh.

Airen melepas blazernya dan menyampirkannya di kepala kursi. Tangannya dengan sigap menghidupkan komputer dan peralatan pendukung lainnya. Lalu kemudian membuat panggilan ke bawah, ruangan OB. Memanggil salah satu OB untuk naik ke atas dan mulai membersihkan ruangan bosnya dengan kehadirannya untuk memantau. Terlalu banyak hal penting di dalam, hingga atasannya tak mengijinkan orang lain masuk sembarangan, OB sekali pun, setidaknya harus ada yang mendampingi.

Ketika OB membersihkan ruangan, Airen bertugas merapikan meja, menyusun dokumen sesuai bagiannya, dan meletakkan beberapa dokumen yang harus diperiksa dan ditandatangani. Beberapa saat kemudian, ruangan telah selesai dibersihkan. Airen melemparkan pandangannya menyusuri ruangan, memastikan kembali tidak ada yang terlupakan dan tersenyum puas ketika ruangan telah sempurna.

*****

"Saga, pastikan bahwa bahan material siap untuk di ambil lusa." Suara berat itu mengalun dengan tegas memberi perintah.

"Baik, Pak." Jawab Saga, lawan bicaranya.

Keluar dari lift mereka disapa beberapa pegawai yang hendak turun. Pria dengan suara berat itu tersenyum sementara pria yang dipanggil Saga tak menunjukkan ekspresi apa pun ketika pegawai tersebut menyapa. Sudah hal biasa ketika kau menyapa Saga dan dibalas dengan wajah tanpa ekspresi. Pria tersebut terkenal dengan wajah datarnya.

"Saga, belajarlah lebih sering tersenyum."

"Saya usahakan, Pak."

Kedua pria yang berbeda jarak lima tahun itu berbelok ke lorong kanan, menuju ruangan khusus pimpinan. Dan sedikit terkejut saat pintu mendadak terbuka dari dalam.

"Pagiiiiii, Bosquee yang ganteng, Bapak Annest yang budiman." Airen dengan senyum secerah mentari mendekat ketika suara berat bosnya yang samar-samar terdengar olehnya . Ya, Tuhan, telinganya terlalu sensitif jika itu berhubungan dengan suara bosnya yang menggetarkan rahim. Tubuhnya dengan segera bergerak ke ambang pintu dan membukanya.

"Pagiii, Aii," balas Annest tersenyum membuat usus Airen dengan segera bergetar nikmat. Ya, Tuhan, atasannya benar-benar pria tamvan yang ramahnya luar binasa.

Salah satu hal yang membuatnya enggan mencari pekerjaan di perusahaan lain—tentu saja selain gaji di perusahaan ini yang membuat rekeningnya gemuk. Bosnya yang tamvan menjadi asupan sehari-hari, menyehatkan mata dan jantungnya bahkan rahimnya yang mulai lapuk di makan usia pun seperti awet muda kembali. Oh, sialan, Airen mengumpat jika mengingat berapa tepatnya usianya dua bulan lagi. Aishh. Lupakan.

"Tumben telat, Bosquee. Tanpa kabar pula, untung saja jadwal pertemuan dimulai jam 11." Airen mengambil alih jas yang dilepaskan Annest, segera setelah memasuki ruangan khusus sekretaris. Langkahnya dengan setia mengikuti pria dengan tinggi nyaris dua meter itu memasuki ruangan direktur yang hanya dibatasi pintu transparan.

"Ehh ...," Annest menghentikan gerakannya yang ingin duduk dan berdiri tegak. Matanya menatap Saga yang sedari tadi diam. Lalu beralih menatap Airen lagi, Saga lagi, lalu Airen lagi. Dan seketika Airen pun mengerti.

Matanya dengan segera menyipit menatap Saga.

"Lupa." Jawabnya.

Saga dengan wajah datar adalah kombinasi sempurna yang selalu membuat Airen ingin memakan pria tersebut bulat-bulat. Jahanam. Kapan pria keparat ini tak membuatnya emosi jiwa raga? Ditambah mengingat kembali notes yang ia tempel di layar monitornya. Kalian mau tahu apa isinya? BODOH! Hmm ... notes yang berisi satu kata 'Bodoh'. Oh, Ya, Tuhan. Airen ingin sekali mencekik bocah keparat itu.

"Sudah, jangan dipermasalahkan! Kopi saya, Ai, Saga?" Seru Annest, menengahi kedua sekretarisnya itu yang rasanya siap untuk baku hantam.

Ya, keduanya adalah sekretaris miliknya. Dua orang yang sudah bersamanya sejak dirinya menggantikan posisi ayahnya di perusahaan ini, delapan tahun yang lalu untuk Airen sementara Saga setahun kemudian. Mendampingi dengan setia dirinya di perusahaan turun-temurun keluarga Delavaqry yang bergerak di bidang perkapalan.

Annest menggelengkan kepala. Ada saja yang membuat mereka naik tensi. Tapi tak jarang tingkah laku bagai kucing dan anjing tersebut malah menjadi hiburan tersendiri untuk Annest---di saat kepalanya yang penat memikirkan pekerjaan.

"Apa, lihat-lihat?" Saga menaikkan alisnya ketika Airen tak berhenti menatapnya sengit ketika mereka keluar dari ruangan Annest.

"Heh, Bocah, tuh, ada sesuatu di hidungmu," ucapnya dengan sinis.

Saga mengerutkan alisnya sebelum menyentuh hidungnya, mengusapnya. Berpikir ada kotoran hidung yang tak sengaja keluar akibat deru napasnya yang terlalu kuat. Oh, sialan, akan memalukan kalau saja itu kotoran. Saga menatap tangannya dan tak ada apa pun di sana. Matanya dengan cepat beralih menatap Airen, memandang sengit.

"Aku kan belum selesai bicara. Aku cuman mau bilang, ada dua lobang di hidungmu." Airen mendecih jahanam sebelum akhirnya berlari kecil keluar ruangan.

Saga mendecak kasar melihat tingkah kekanakan Airen sebelum sedetik kemudian tersadar dan langsung menyusul keluar. Sialan! Dia kalah cepat untuk membuatkan kopi atasannya.

*****

1046

PseuCom

Us - SekretarisUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum