Volume 1 chapter 22

1.4K 159 0
                                    

Udara sangat panas, dan keringat terus bercucuran dari wajahnya.

“Berikan Pingting kesempatan terakhir. Biar Pingting membuktikan padamu kebenarannya, bahwa Pingting takkan pernah apapun untuk menyakitmu.”

Ia berada di dalam lengannya dan tersenyum.

“Pingting tidak berani melukaimu, dan takkan pernah melukai orang-orang di sekelilingmu.”

“Aku akan menunggumu di Dong Lin.”

Ayo bersumpah pada bulan...

Takkan pernah bermusuhan satu sama lain....

“Geez geez, Chu Beijie, kau sungguh seorang idiot!” dan tawa getir melengking terdengar di telinganya.

Rasanya seperti seseorang telah membuka kulit tengkoraknya, menyobek urat-urat syarafnya dengan paku, dan mengigitnya denga gigi yang sangat tajam.

Sebuah mimpi, ini seharusnya hanya sebuah mimpi.

Terlalu panas, seperti di dalam lava gunung berapi.

Ini hanya mimpi, tapi ia tak bisa terbangun. Pingting masih bermimpi, perlahan mengunyah buah berry liar. Sepertinya buah itu masak sempurna dengan warnanya yang merah, tapi yang ini lebih pahit daripada yang sebelumnya. Sangat tidak karuan.

Kenapa begitu pahit?

Kenapa buah ini sepahit ini?

Ini mimpi, mimpi yang tidak bisa terbangun darinya.

Sebuah kereta kuda mewah berderap menuju rumah. Tidak ada bendera Jendral di atasnya dan para penonton Bei Mo yang penasaran tidak tahu bahwa, orang yang telah menyelamatkan negara mereka berada di dalamnya – seorang wanita, seorang wanita yang bahkan bukan bagian dari Bei Mo.

Ia pernah menjadi bagian dari Gui Li, dan Dong Lin mungkin, tapi sekarang ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri.

“Aku menunggumu di Dong Lin.”

Menunggumu...

Percakapan mereka dan mata yang penuh cinta, sangat lembut di malam bulan terang.

Tapi, itu hanya mimpi, sebuah mimpi yang kau harap tidak pernah terbangun.

Tapi ia harus bangun, untuk melihat siapa yang mengacaukannya. Mengacaukan seorang Bai Pingting dengan mudahnya. Mengacaukan segala yang ia tunggu dengan susah payah.

Ia mengertakan giginya dan berjuang dengan segala kebenciannya untuk bangun, berusaha untuk membuka matanya yang terasa berat, sangat berat, sedikit demi sedikit.

Cahaya menyelinap kelopak matanya, terasa menusuk. Ia membuka lebar kedua matanya, mengumpulkan semua kekuatannya untuk menatap seseorang yang berada di depannya, terus berusaha menatapnya sampai matanya serasa pecah.

Istri Jendral Utama, Yangfeng.

Ia telah kembali ke kediaman Yangfeng, berbaring di tempat tidur dimana ia pernah berbincang semalam penuh denganya. Bantal sutra yang halus, masih tetap indah seperti dulu.

Yangfeng yang telah menunggu disisinya selama beberapa hari, sangat ingin melihat Pingting membuka matanya tapi, ketika ia melihat ekspresi di wajahnya, tiba-tiba ia merasa takut dan gemetar. “Pingting, kau akhirnya sadar.” Kata-kata itu biasanya mudah di ucapkan, tapi kali ini tersumbat di lehernya setelah melihat raut wajah Pingting.

“Kepada siapa kau memberikan obat itu?” Pingting bersuara dengan serak.

“Raja...”

“Apa Raja menemui seseorang setelah mendapatkannya?”

Yangfeng mengigit bibirnya, dan tiba-tiba bertanya, “Kenapa kau bilang itu hanya obat bius? Walaupun tidak bisa menyebabkan kematian bagi seorang dewasa dengan tubuh yang kuat, tapi cukup untuk membunuh seorang anak. Bahkan tidak diperlukan sebanyak itu, sedikit saja sudah cukup.”

Hati Pingting serasa di lilit dan jari-jarinya yang kurus gemetar menyengkram jantungnya. Ia menutup matanya beberapa saat, lalu membukanya lagi, mengumpulkan keberanian untuk bersuara. “Jadi kau memberikan obat itu untuk meracuni kedua pangeran agar meninggal? Yangfeng, apa kau begitu kejamnya? Tidakkah kau berpikir untuk lebih banyak berbuat kebaikan agar anakmu yang akan lahir mendapat kehidupan yang penuh berkah.”

Kata-kata ini menusuk Yangfeng, ia mengelus perutnya yang besar sambil mengambil dua langkah mundur. Ia terduduk diatas lututnya, airmatanya berurai. Dengan suara pelan ia berkata, “Aku membawa obatnya ke istana, tapi Raja memanggilku setelah beberapa saat kemudian. Ia bertanya apakah aku tahu kalau obat itu bisa meracuni anak kecil. Raja berkata, kalau hanya membuat Raja Dong Lin koma tidak akan menyebabkan kekacauan berarti untuk Dong Lin, tapi kalau kedua pangerang mereka mati, maka mereka akan kacau untuk beberapa tahun. Pingting, aku di tahan di istana, tidak bisa memberikan kabar apaapun. Sungguh, tidak bisa memberi kabar apapun! Ze Yin.... Ze Yin juga tidak berada di Bei Yali....” ia telah berada dalam ketakutan dalam beberapa hari dan saat ini ia tidak bisa menahannya lagi. Ia mulai menagis.

“Yangfeng,” Pingting berusaha bangun dan duduk dengan susah payah, rambut hitamnya terjuntai di satu sisi wajahnya yang kurus. Ia berusaha untuk turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah Yangfeng, lalu menekan pundaknya. Ia menatapnya dan bertanya, “Yangfeng, siapa yang memberitahu Raja Bei Mo tentang hal itu? Katakan, kau tahu – ya kan?”

“Aku...” Yangfeng menatap mata Pingting dengan matanya yang berlinang airmata. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Jangan bertanya, Pingting.... jangan bertanya.”

Pingting menatap Yangfeng agak lama, matanya tiba-tiba bersinar, akhirnya ia mengerti. Ia berbalik, tatapannya tidak lagi menusuk, hanya kesedihan dan ketidakpercayaan yang tertinggal dimatanya. Ia menahan napasnya, dengan ragu-ragu mengucapkan dua kata, ‘He Xia?”

Yangfeng tak bisa berkata, hanya menatap kejauhan.

Tangan Pingting yang memegang pundak Yangfeng terlepas dan memegang lututnya sendiri. Bibirnya yang sudah pucat gemetar agak lama, sampai akhirnya ia tersenyum. “Benar, selain dia siapa lagi yang tahu kegunaan obat itu? Kami berdua yang meracik obat itu bersama.”

Ia masih agak pusing beberapa saat, tapi kemudian sesuatu mengingatkannya dan ia berusaha berdiri. Yangfeng berusaha membantunya, tapi Pingting dengan lembut menolaknya, ia menggunakan kursi untuk membantunya berdiri. “Siapkan kuda.”

Yangfeng melihat kalau Pingting bahkan tidak bisa berdiri dengan stabil, ia menatap dengan heran, dan bertanya dengan hati-hati, “Kau mau kemana?”

“Bertemu He Xia.” Gigi Pingting yang putih bergemertak pelan dan tatapannya pada kejauhan. Suaranya bergaung ketika berkata, “Aku ingin bertanya sendiri padanya.... kenapa ia melakukan ini padaku?”

Yangfeng diam beberapa saat, dan akhirnya menghela sedih. “Kau tak perlu pergi untuk mencarinya. Ia berada disisni saat ini. Sejak kau kembali, ia telah menunggu kau tersadar.”

Gu Fang Bu Zi Shang (End)Where stories live. Discover now