3. Trauma

186 20 5
                                    

   "Jangan lupa perhatiin terus. Jangan cuek cuek kalo jadi cewek. Ntar cowok lo selingkuh. Ganteng soalnya."

   "Lo juga harus peka sama cowok. Terkadang cowok itu suka melontarkan berbagai macam kode buat ceweknya."

   "Lo juga jangan lengah sama dia. Pacar lo ganteng soalnya. Tapi jangan posesif juga. Entar dia risih terus selingkuh."

   "Kalo dia ada salah, jangan langsung lo marahin. Dengerin dulu penjelasannya. Soalnya cowok paling gak suka dituduh tuduh."

   Sejak tadi bibirnya tak lelah memberikan Rea siraman kalbu. Sedangkan lawan bicaranya hanya mendengus, berdehem, atau bahkan mengabaikannya. Rea sudah bosan mendengar celotehan kakaknya yang sangat absurd dan unfaedah.

   Erick menoleh kearah Rea. Menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Lo dengerin gue gak?"

   Mau tak mau Rea pun ikut menoleh. "Harus?"

   Erick benar benar tidak menduga adiknya ini benar benar berhati batu. "Saik lo dek."

   Rea hanya mengedikkan bahunya acuh.

   Erick kembali memandang kearah depan. Menghentikan pergerakan tangannya yang sedang mencomoti camilan andalan dirinya dan Rea. Kentang goreng.

   "Gue serius, Re." Ucapnya membuat Rea sedikit bingung dan kembali memandangnya saat mendengar nada suaranya yang terdengar serius. "Gue gak mau ada yang nyakitin elo. Seberapa dewasa pun elo, lo tetep adek gue. Gue punya kewajiban buat jagain lo setelah mama. Apalagi setelah ayah pergi ninggalin kita, gue adalah satu satunya orang yang akan jaga lo sama mamah dari orang orang yang berusaha nyakitin kalian berdua. Kalo sampe kalian berdua kenapa napa, sumpah gue gak bakal bisa maafin diri gue sendiri, Re. Seberapa besar pun angka usia elo,  lo tetep adek kecil gue yang belum punya pengalaman tentang cinta. Dan mungkin ini yang pertama. Gue gak mau sampe lo salah pilih, salah naruh kepercayaan, sampe bikin lo sendiri nyesel nantinya."

   Jujur, hati Rea terenyuh saat mendengar penuturan kata Erick barusan. Bahkan ia tidak menyangka bahwa dibalik sikap jahil dan tengilnya seorang Erick Putra Algama, ia juga menyimpan sejuta cita cita untuk keluarganya.

   Namun, saat mendengar kelanjutan ucapan Erick, hati Rea absurd kembali. Tak lagi terenyuh macam tadi.

   "Makannya lo jangan galak galak jadi cewek. Jutek banget lo. Pasti gak ada cowok yang mau sama lo kan? Gak punya pengalam dalam bercinta jadinya. Tau deh si Elden mau sama lo karna apa. Terpaksa kali."

   Sial! Ria yang tadinya hampir menetaskan air mata kini gagal gara gara ucapan Erick yang sedikit mencolek hatinya.

   Terpaksa lo bilang? Hm, emang.

   Rea tersenyum getir mengingat bagaimana kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian yang berhasil membuat seorang Edrea Kyra Arundati sempat merasa trauma. Namun dengan pandai ia sembunyikan semua itu didepan keluarganya. Ia tidak ingin mama dan abangnya marah dan cemas akan keadaannya.

   Sebisa mungkin ia bangkit dari keterpurukannya. Bahkan tak jarang ia mengeluh dan memilih untuk menyerah. Pasrah akan keadaan yang akan membawanya pada masa depan yang suram.

   Namun berkat seseorang yang selama ini menjadi saksi bangkitnya Rea dan selalu menjadi tempat dia menenangkan diri membuatnya sedikit melupakan kejadian lampau yang membuatnya tak ingin lagi mengenal sosok yang sempat ia anggap hero dalam hidupnya.

   "Yagak?" Ucapan Erick berhasil menyadarkan Rea dari lamunannya. Ia menoleh kearah abangnya. Dengan cepat ia merubah aura wajahnya yang semula mendung, kini datar kembali.

   "Serah." Jawab Rea sambil bangkit dari duduknya. Berjalan kearah tangga yang menghubungkan ruang keluarga dan kamar abang juga dirinya.

   "Lah tu bocah malah ninggalin gue. Udah serius juga, berasa pujangga gue tadi." Ucapnya bermonolog sambil mengacungkan kaos oblongnya. Lalu kembali ia mencomoti kentang goreng yang masih banyak dipiring saji.

   Sedangkan Rea. Ia berlari menuju kamarnya, menutup dan menguncinya rapat rapat. Ia menjatuhkan tubuhnya diatas kasur berukuran king size nya, menumpahkan segala rasa dan uneg uneg yang selama ini ia pendam sendiri, ia telan seorang diri. Ia berfikir, bagaimana jadinya jika semua orang tahu akan masalalunya yang kelam dan terlalu menyedihkan untuk dibagikan, meski kepada keluarganya sekalipun.

   "Sampai kapan? Sampai kapan gue harus kayak gini? Nutupin semuanya dari mereka? GUE UDAH GAK KUAT!! GUE GAK BISA!!" Ia berteriak sekuat kuatnya. Berusaha melampiaskan amarah serta dukanya melalui teriakan yang ia yakini tidak akan didengar oleh siapapun karna seluruh kamar disini memang sengaja diberi pintu kedap suara. Entah apa motifnya yang jelas untuk saat ini Rea sangat sangat berterimakasih kepada orang tersebut.

   "Kenapa masalalu gue harus semenyedihkan ini? Kenapa harus sepedih ini? Kenapa harus sekelam ini? KENAPA?!" Rea terus berteriak sambil menjambaki rambutnya sendiri seakan menjadi bukti bahwa rasa sakit yang kini ia rasakan tak sepadan dengan apa yang sudah ia pendam selama ini.

   Inilah sisi Rea yang sebenarnya. Dibelakang layar ia tidak sedingin biasanya. Sikap dingin itu hanya fake semata. Dan tentu Rea memiliki alasan dibalik semua itu.

  "Apa gue jujur aja sama mama?" Rea mulai mengira ngira resiko apa saja yang akan ia dapatkan nanti. Namun dengan cepat ia menggelengkan kepalanya sambil menutup mata. "Gak! Enggak! Gue gak boleh nyerah! Mama ngidap jantung. Gak mungkin gue ngomong frontal masalah serius kayak gini."

   Rea mulai berfikir lagi. "Apa gue ngomong sama Erick?" Ia mulai menerawang kembali. "Gak mungkin! Dia pasti bakal marah besar dan datengin pa- Arghhh! Bahkan gue gak sanggup panggil dia dengan sebutan itu." Rea kembali menangis.

__________________________________________________

Setelah lama menghilang, akhirnyaaa author abal abal ini muncul kembali:)
Oke part ini aku bikin dikit aja. Aku juga kasih sedikit clue tentang alur kisah ini. Ada yg udah bisa nebak?

Vote&comment❤

Ig: dewiwul_

IK HOU VAN JEWhere stories live. Discover now