Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

7. Barry Narendra

37.6K 4.5K 155
                                    


"SELAMAT PAGI, Mas Barry," sapa Bik Ninuk riang saat melihat Barry berhenti di ambang pintu taman belakang.

Kania berhenti makan dan  menoleh ke arahnya. Kalau saja cewek itu tidak melihatnya, dia pasti sudah meninggalkan tempat ini  dan menunggu di ruang latihan. Barry mengangguk dan melambaikan satu tangan.

"Hari ini damai, tapi Bibik masih merinding disko. Nggak ada teriakan, mau saya bantu mandi tanpa nangis, diajak sarapan gampang—nggak ada acara lempar-lempar." Tiba-tiba saja Bik Ninuk berdiri sejajar dengannya, sama-sama menatap Kania, yang terlihat sudah melanjutkan makan. "Tuh, lihat ... ih ... seram. Kira-kira Mbak Nia kenapa ya, Mas?"

Barry melirik sambil memiringkan sedikit tubuhnya agar lebih dekat Bik Ninuk. "Hidayah."

"Bik Ninuk," panggilan Kania di depan sana berhasil menghentikan pukulan Bik Ninuk untuknya. Tergopoh-gopoh Bik Ninuk mendekati Kania. "Siapkan satu lagi sarapan buat Mas Barry." Barry terkejut. Dia berdiri tegak dan siap menolak, tapi saat Kania menatapnya. Barry tidak kuasa untuk menolak.

Dia menghampiri meja bulat hitam di paviliun, lalu duduk di seberang Kania. Menekan kuat-kuat kedua tangan ke paha saat melihat Kania memakai kalung sialan itu. Bagian demi bagian tragedi di keluarganya bermunculan, ingin rasanya dia menghantam sesuatu untuk mengurangi sakit dan marah yang datang berbarengan.

"Kenapa?" tanya Kania setelah Bik Ninuk menyiapkan satu porsi sandwich bacon dan teh manis hangat, dan pergi.

"Apanya?"

"Kamu ... dari semalam aneh."

"Seharusnya saya yang tanya, Mbak Nia kenapa? Dari semalem sudah buat Bik Ninuk panik dengan perubahan sikap yang tiba-tiba tenang begini ... rumah jadi sepi."

Kania meminum segelas air sampai setengah dan berkata dengan datar, "Ceritakan tentang kamu." Barry menaikkan satu alis, dan Kania mengarahkan garpu ke arahnya. "Kenapa? Aneh? Nggak, ah. Kamu terapis saya, saya perlu tahu tentang kamu. Siapa tahu aja kamu ini penjaha—"

"Penjahat yang dimasukkan oleh pacar sendiri. Wah. Romantis sekali pemikiran Mbak Nia."

Kania mengedikkan bahu, lalu mengunyah telur goreng. "Who knows?"

"Terserahlah, tapi ... tolong lepas dulu kalung itu."

"Kalung? Kenapa?"

"Jelek. Mengganggu pemandangan dan konsentrasi," sahut Barry. Ada gelas. Ada piring. Ada tiga tangkai bunga tulip di tengah meja ini. Mata Barry meneliti semua benda di hadapannya, menyibukkan diri, asal tidak membalas tatapan Kania. Kemudian, dituntut untuk memberikan jawaban masuk akal. Lucunya, semua yang berhubungan dengan kalung itu tidak ada yang masuk akal.

"Oke. Cerita dimulai."

Ketika Barry mengangkat kepala, kalung sudah hilang dari leher Kania. Ekspresi cewek itu juga biasa saja, seperti tidak berminat mencari tahu alasan lanjut dari permintaannya. Seolah semua tentangnya lebih menarik.  Apa cewek ini menganggap dia menarik?

"Saya nunggu, loh ...."

"Saya Barry—" Kania mengerutkan kening, terlihat siap untuk protes. "Katanya disuruh cerita tentang saya, ini saya mau mulai dari yang paling awal. Lanjut nggak, nih?" Kania mengangguk pelan, lalu bertopang dagu di meja "Saya Barry Narendra. Saya teman sekolah Alby di SMA, dua kali sekelas. Awal kami dekat, karena dia nolong saya dari kejaran preman. Pertolongan pertama itu berlanjut sampai ... sekarang. Saya punya banyak utang budi sama Alby dan keluarganya, itu semua alasan saya di sini."

Kania meletakkan garpu di piring dengan sangat anggun, menyimaknya dengan serius. Waktu seakan berhenti. Pikirannya entah berada di mana. Dia tidak pernah mengira melihat Kania yang tenang akan merubah cara pandangnya.

"Lalu?"

Barry berdeham. "Saya punya dua saudara, semua perempuan. Satu sudah menikah dan tinggal di Bandung bersama Mama saya, satu lagi masih kuliah. Ya, di rumah ... saya paling ganteng."

Entah untuk alasan apa wajah Kania tampak bimbang, seperti ada yang mengusik cewek itu.

"Mbak?"

Tiba-tiba Kania meletakkan kalung itu di tengah meja, dekat vas. Keinginan Barry untuk berdiri begitu kuat, tetapi kedua kakinya begitu berat—susah digerakkan. "Apa sebelumnya saya sudah bilang tentang keajaiban kalung ini?" Lidahnya kelu, sementara hatinya tertawa ngeri. Keajaiban? Tidak, kalung itu petaka. Tidak, kalung itu hanya mirip, dia sudah menghancurkan sendiri. Namun, bentuk dan detail benda itu sangat mirip. Bahkan urutan kejadian yang dialami Kania juga sama ....

"Mbak, ayo kita lati—"

"Karena kalung ini saya bisa lihat hal-hal yang akan terjadi, kalau hari itu saya nekat memutuskan hubungan di depan umum. Dan kamu jadi bagian dari hal-hal itu ...."

"Kayaknya, Mbak salah minum obat. Perlu saya—"

Kania mengeluarkan kertas pink kecil dari kantungnya, mensejajarkan dengan kalung, tulisan tangan tentangnya. Namanya, pekerjaan, dan hal-hal yang baru dia ceritakan pada Kania beberapa menit lalu. "Saya nulis itu tadi malam. Semua sama dengan yang kamu bilang, itu juga alasan saya histeris waktu kita bertemu pertama kali. Kamu—"

Barry berdiri, mencoba tersenyum meski datar. "Lebih baik kita latihan. Semakin cepat—"

"Barry, kamu tahu tentang kalung ini. Kamu—"

"Saya nggak tahu apa-apa, Mbak!"

"Jangan bohong!" Kania menangkap cepat pergelangan tangannya, dan air mata Kania lolos sama cepatnya. Barry tahu Kania berusaha menahan tangisan itu, tetapi sepertinya gagal. "Ini apa, Barry? Kalung ini apa?"

"Saya nggak tahu Mbak itu apa, yang saya tahu benda itu menghancurkan keluarga saya sampai ke dasar."

Perfect LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang