33. The Last Message

20K 2.3K 37
                                    

Rumah itu masih berdiri di sana. Yang berbeda hanyalah penampilan luarnya. Tak ada lagi semak belukar setinggi diriku terlihat di sana. Kini sudah berganti dengan tanaman rapi berjejer dengan bunga-bunga yang segar dipandang mata.

Rumah itu juga lebih tampak seperti rumah pada umumnya. Bahkan dinding-dindingnya dengan cat mengelupas sudah tak lagi terlihat. Warna birunya kini jauh lebih bersih, lebih terang dan lebih cantik. 

Pergola teras yang kemarin dipenuhi belukar kering mati segan hidup tak mau, telah berganti warna hijau dari tanaman merambat dengan bunga-bunga putih kecil. Sungguh jauh berbeda.

Mas Doni membukakan pintu untukku. Aku yang pertama masuk, disusul Kak Devira dan Mas Doni. Mindy yang juga ikut masuk bersama kami menyusul belakangan setelah ia mengagumi pemandangan sekitar rumah.

Di dalam rumah juga sedikit berubah. Ketika Mas Doni menekan saklar, lampu-lampu di langit-langit berpendar menerangi seluruh ruang tamu, lalu akhirnya seantero ruangan di lantai 1 itu. 

Aku menarik napas. Suasananya benar-benar berbeda dari saat terakhir aku masuk, ketika hanya cahaya bulan dan lampu-lampu dari kejauhan yang menerangi ruangan ini.

"Mau periksa ke atas?" tanya Kak Devira. 

Aku mengangguk sambil tersenyum padanya. Kami berjalan naik ke atas bergantian. Kak Devira lebih dulu.

Ternyata aku lebih kuat dari yang kukira. Hatiku tak terasa berat, tapi justru senang karena rumah Kak Malik kini lebih terawat. Tanpa bertanya, aku masuk ke kamar yang dulu pernah digunakan Kak Malik untuk mengurungku. 

Aku menyenggol tangan Kak Devira. "Inget dulu pernah mengurung aku di sini?" sindirku. 

Kak Devira tertawa. "Dan Kak Malik sampe lompat dari jendela buat mengejar kamu, tapi tetap saja... Kamu benar-benar luar biasa kalo lagi nekat ya, Ya," tukas Kak Devira.

Kami keluar dari kamar dan masuk ke kamar yang dulu kugunakan untuk sholat bersama Kak Malik. Sekali lagi aku menghela napas, mengingat saat-saat penuh kenangan itu. Rindu itu balik lagi, tapi hatiku tak terlalu sesak lagi. Rupanya, keadaan rumah yang tampak jauh lebih baik juga berhasil menenangkanku.

"Bilang ya, Ya... Kalo kamu ngerasa berat atau sedih," bisik Kak Devira sambil menyentuh pundakku.

Aku menoleh dan menggeleng pelan. "Enggak papa kok, Kak. Aku juga gak menyangka bisa sekuat ini melihat semua ini."

Kak Devira merangkulku. Setelah berdiri sejenak di dalam kamar, dan tak melihat ada petunjuk apapun di situ, kami pindah ke ruangan lain. Ruang kerja.

Aku ingat dulu saat duduk bersama Kak Malik di ruangan ini. Kak Devira menuju jendela, hendak membukanya, sementara aku bergerak menuju meja kerja. Di atas meja hanya ada tumpukan beberapa buku bacaan, sebuah jam meja kecil, dan tempat pena yang hanya diisi dua buah pena. 

Suara seseorang mengetuk pintu ruang kerja itu membuat aku dan Kak Devira menoleh ke pintu. Mas Doni sedang melangkah masuk. 

"Sebenarnya ada yang mau saya kasih ke kamu, Ya," kata Mas Doni. 

Mas Doni mendekatiku, lebih tepatnya ke meja. Ia membuka laci meja kerja itu dan mengambil sesuatu. Sebuah buku agenda bersampul hitam.

Mas Doni tersenyum penuh arti padaku. "Waktu saya dan Devira ke sini, kami menemukan sesuatu dalam buku ini, yang saya rasa untuk kamu. Tapi karena waktu itu kondisimu seperti itu, kami tidak berani memberikannya. Ini saya berikan sekarang, tapi... mmm... "

Kali ini Kak Devira yang merangkulku berbicara. "Kami tidak ingin membuatmu sakit lagi, Ya. Kami semua sayang sama kamu dan ingin kamu tegar."

Aku mengangguk dengan tersenyum. Berusaha meyakinkan keduanya. Buku itupun disodorkan padaku. Walaupun sudah kuduga kalau buku ini salah satu milik Kak Malik, tetap saja hatiku bergetar penuh cinta. Sekali lagi, satu kenangan muncul dalam ingatanku.

Saat kami duduk saling berhadapan. Aku duduk di sofa dan Kak Malik di kursi belakang meja kerja ini. Ia sedang menulis sesuatu, dan buku inilah yang kuingat. 

Kubuka perlahan-lahan buku itu dan baru kutahu kalau semua isinya berupa rencana, jadwal meeting, nomor telepon, catatan kejadian dan sebagainya. Sepertinya buku ini berisi tentang semua pekerjaan yang pernah dilakukan Kak Malik. Tak ada yang istimewa karena banyak yang tak kumengerti. Apalagi rata-rata semua catatan itu ditulis dengan terburu-buru, agak sulit terbaca.

Melihatku yang sedikit kebingungan, Mas Doni menunjuk pada tanda post-it kecil dalam buku agenda itu. Aku tersenyum malu dan mengangguk, mengikuti petunjuk Mas Doni. Membuka lembaran yang tertempel post-it. Begitu terbuka, aku langsung membacanya...

Assalamualaikum Ayari,

Aku termangu, mendongak menatap Mas Doni penuh tanda tanya. Mas Doni hanya mengangguk. Bergegas, aku kembali menunduk. Membaca lagi.

Terima kasih menerima saya menjadi penjagamu. Terima kasih menerima saya menjadi seseorang yang berarti. Terima kasih menerima saya menjadi duniamu.

Saya mohon maaf, Ayari. Tapi saya tak bisa selamanya bersamamu. Masa depanmu masih panjang, Adik yang manis. Nanti pasti ada laki-laki lain yang lebih baik dari saya dan ia pasti bisa mencintaimu lebih dari saya. 

Jangan sedih terlalu lama setelah saya mundur dari tugas. Tetaplah berlari karena berlari itu baik untukmu. Jangan berenang malam-malam. Jangan menangis diam-diam. Jangan menyakiti dirimu sendiri. Jangan berhenti belajar. Jangan berhenti tertawa dan berteman dengan teman-temanmu. 

Jangan lupa selalu sarapan pagi dan minum vitamin. Jangan memandang bintang sampai ketiduran. Jangan memikirkan apa-apa yang tidak menyenangkan saat akan tidur, agar kamu tak bermimpi buruk. Jangan lupa untuk selalu sholat dan berdoa.

Sayangilah Pak Rahman dan Bu Irna. Juga nanti kalau Ibu Kasih sudah kembali. 

Hormati Mas Doni dan juga Devira. Berbicaralah dengan para staf di rumah kalau kamu kesepian.  

Hanya ini yang bisa saya lakukan saat ini untukmu, Ayari. Jangan bersedih. 

Saya hanya ingin ...

Tulisan itu berakhir. Tak ada kelanjutannya. Aku menatap Mas Doni, yang hanya memberi kode kalau memang seperti itulah akhir dari tulisan Kak Malik. Begitu juga saat aku menoleh pada Kak Devira. Ia juga mengangguk.

Apapun yang ingin ia tulis terputus karena saat itu Kak Devira dan anggota timnya datang tiba-tiba. Aku menghela napas mengingat hari itu. Sejak kejadian itu, aku tak pernah menyesal melakukannya, karena aku hanya ingin menolong sahabatku. 

Tapi sekarang aku menyesal karena Kak Malik harus mengetahui pelarianku lebih cepat dari dugaanku. Lebih menyesal lagi sekarang, karena Kak Malik tak bisa menyelesaikan suratnya untukku.

Jangan menangis diam-diam...

Airmata yang biasanya selalu kutahan, kubiarkan mengalir jatuh. Seperti pesan Kak Malik, aku membiarkan orang lain melihatnya. 

Kak Devira segera memelukku. Membiarkan air mataku membasahi jaket bomber yang ia pakai. 

Sambil menangis, kupegang erat-erat buku agenda milik Kak Malik itu. Mengingat semua pesan yang ia tulis. Benar-benar khas Kak Malik. Penuh kata 'jangan' dan serangkaian perintah. Untuk pertama kalinya aku tersenyum sedih dan berjanji dalam hati untuk memenuhi semua yang ia tulis itu.

Aku hanya berharap, sekecil apapun harapan itu, dengan menjalani hidup seperti yang diinginkan Kak Malik. 

Suatu hari nanti entah kapan, di mana saja, aku dipertemukan dengannya lagi sebagai hadiah dari Allah. Aku yakin, selama tak ada bukti kematiannya, Kak Malik pasti hidup di suatu tempat. 

*****

My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Where stories live. Discover now