Titik - 05

144 25 8
                                    


Strange Act

_____


"Bukan masalah, Ran," Abhi terbahak.

Aku menggaruk dahi. Pagi ini, aku berangkat dengan Aga tanpa bicara sepatah kata pun. Lalu sebelum masuk kelas, begitu melihat Abhi tengah berjalan santai dengan gerombolannya dari arah parkiran, aku langsung heboh sendiri. Tanpa pikir panjang—otakku memang jarang dipakai berpikir matang-matang—dan mengingat struggle chat semalam, segera saja kuhampiri dia. Abhi cukup terkejut dengan kedatanganku dan membiarkan teman-temannya pergi duluan ke kelas.

Setelah menceritakan bagaimana kronologi terkirimnya chat itu, Abhi malah tertawa keras selagi aku heboh minta maaf.

"Ya, pokoknya... sori ya?" kataku sambil mengulum senyum super canggung yang sukses membuat wajahku jadi super aneh.

"Santai," Abhi mengangkat kedua alis, tersenyum ganteng. Raut wajahnya sedikit berubah satu sekon kemudian. "Tapi yang aku heran, kenapa Si Aga bisa bales chat di HP kamu? Maksudku, itu udah malem dan... dia cuma tetanggamu, kan?"

Oh, sial.

Mendadak aku merasa gugup.

Tapi tunggu, untuk apa aku gugup? Ini bukan seperti aku sedang menyembunyikan perselingkuhan atau bagaimana kan? Lagipula, apa sih statusku dengan Abhi? Di dahi cowok itu bahkan terdapat cap raksasa yang mengingatkanku untuk selalu tahu diri: BUKAN PACAR DAN BELUM TENTU AKAN JADI PACAR, SELAMAT BERMIMPI. Maka aku hanya perlu memberi penjelasan singkat mengenai Aga; tetangga yang mematikan, menyebalkan, dan memiliki hobi mengacaukan fase pendekatanku pada Abhi.

"Dia nginep semalem." Aku menghela napas setelah menimbang sejenak. Abhi melongo dan nyaris mengeluarkan komentar, tapi segera kupotong. "Sebenernya, kami sedekat itu. Aku sama Aga emang sedekat itu, bareng Kak Birai juga. Keluarga Aga dan keluargaku. Jadi, ya, intinya... semacam sahabat? Tapi bukan sahabat juga, sih. Pokoknya tadi malem dia nginep. Terus dia ambil ponselku seenaknya."

"Bentar," ucap Abhi dengan nada ragu. "Oke kalau emang sahabatan, aku ngerti. Cuma... gini, Ran. Dia bilang tadi malem kamu udah tidur. Kamu tidur di kamar, kan?"

"Iya." Memangnya aku punya hobi tidur di sofa atau bath up kamar mandi?

"HP kamu juga di kamar?" tanya Abhi lagi.

"Iya dong. Aku bawa."

Abhi terdiam. Aku juga terdiam. Abhi mengerjapkan mata. Aku memiringkan kepala.

"Apa dia nginep dan tidur sekamar sama kamu?" Pertanyaan itu terlontar secara mengagetkan setelah keheningan sesaat.

"Hah?"

Bagaimana Abhi bisa menarik kesimpulan seperti itu dengan wajah yang—

"NGGAK! Astaga. Nggak gitu. Bhi, kayaknya kamu salah kaprah. Aku nggak sekamar sama dia," kutatap dia dengan wajah serius yang dibuat-buat.

Uhm, yeah. Sebenarnya aku tidak pernah masalah jika memang harus tidur sekamar dengan Aga. Toh, kami biasa tidur berjejeran di depan televisi. Kadang juga tergeletak bagaikan seonggok mayat di kamar Kak Birai yang cukup luas untuk menampung tiga orang. Aga juga pernah tertidur di kamarku ketika menumpang mengisi daya ponsel dan aku santai saja tidur di sebelahnya.

Tapi, kesalahpahaman Abhi harus diluruskan.

Karena, hai, dia cowok yang paling berkilau di sekolah ini dan sebuah keajaiban kalau dia peduli padaku dalam konteks remeh seperti tetanggamu-tidur-sama-kamu-waw-sedekat-apa-kalian. Kalau boleh narsis sedikit, artinya Abhi tertarik dengan kehidupanku kan? Dia pasti perhatian padaku!

SCHEDIOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang