Satu - Hannan

70 7 0
                                    

          Ladang Timur seperti sudah menjadi tempat favorite beberapa kalangan remaja untuk sekedar berkumpul, bercengkrama dan bermain menghabiskan waktu di sela libur semester.

Tempatnya yang terletak di bukit dan di tumbuhi pepohonan yang asri membuat hawa lebih terasa sejuk di banding di lingkungan pemasyarakatan yang berjarak sekitar satu kilo meter di bawah bukit.

Ladangnya luas berhektar. Seluruhnya hampir tertutup rumput hijau bak seperti karpet yang empuk. Tidak ada peternakan hewan yang berkeliaran bebas sehingga rumput-rumput itu cukup aman dari kuman jika sekedar di pakai bergeletakan dan duduk semaunya.

Seperti saat ini. Dari sisi bukit Barat terlihat puluhan pohon mahoni  yang berjajar rapih baris berbaris bak prajurit yang bersiap tempuh. Berbaur dengan pohon-pohon pinus.

Suara alam terasa menggema sahdu di telinga berbaur dengan suara-suara cicitan burung dan juga angin yang berhembus. Alunan hapalan-hapalan surat pendek al-quran terus melantun di Barat Timur.  Tepatnya di bawah pohon beringin. Salah satu pohon yang cukup terlebar dan hanya itu satu-satunya pohon beringin yang tumbuh menjulang lebat dengan daun dan juga ranting yang terlihat memayungi sekitar tempatnya di ladang Timur. 

"Faja'alahum ka'ashfim ma'kuul...
Shadaqallahul adzim...

Hampir tiga jam alunan  surat-surat itu teralunkan dari tiga mulut remaja yang tengah tidur terlentang di bawah pohon dengan beralaskan rumput.

"Asya, kamu kalo sudah lulus dari asrama mau lanjut kuliah ke kota atau mau kerja di 'dalem' ?" tanya Siti. Remaja berwajah bulat yang tengah duduk untuk merapihkan kerudung bruket yang miring lalu menepuk nepuk punggungnya untuk menghilangkan rerumputan yang menempel bandel di jubahnya.

"Aku mau lanjut kuliah Ti." Asya ikut bangkit dari rebahanya di ikuti Hannan ketiganya saling pokus membersihkan baju dan kerudungnya sambil duduk berhadapan.

"Enak kamu Sya." wajah Siti tertekuk.

"Memang kamu mau kemana kalo sudah lulus Ti?" tanya Hannan sembari tersenyum tipis menegakan posisi tulang punggungnya dan duduk dengan kaki menyerong ke kanan.

"Ia Ti ko sepertinya kamu sedih?" timpal Asya.

Siti mengangkat wajahnya tegak menatap Hannan dan Asya bergantian, "Ami tidak punya cukup tabungan untuk mengirim aku ke kota Sya, Nan. Jadi ... Terpaksa aku kerja di 'dalem' ." Siti menghirup dan mengambil oksigen banyak-banyak untuk menahan tangisnya yang sepertinya akan pecah dalam hitungan detik.

"Aku enggak akan punya pengalaman seperti kalian yang akan mengetahui dunia kota dan sekitarnya." tambahnya dengan suara yang mulai memparau.

Hannan dan Asya saling bertatap pandang dengan raut wajah ikut berduka lalu mengusap pundak Siti bersamaan, pelan.

"Kamu enggak boleh gitu Ti. Pak Kiai sama Nyai kan sudah cukup baik sama kita dan seluruh santri. Bahkan mereka juga membuka lowongan kerja untuk santri yang tidak mampuh dan itu bagi saya bagus."

"Bagus apanya toh Nan?" potong Siti tidak suka.

"Bagus jadi kita bisa bantu Umi Abi untuk meringankan keuangan keluarga dan menyekolahkan adek-adek kamu Ti." timpal Asya Siti hanya diam, "Dengan adanya lowongan di asrama kita enggak perlu jauh-jauh meninggalkan keluarga kita demi mencari pekerjaan. Karna di dalem apa saja lowongan itu ya itu yang kita miliki bakatnya kan?"

"Asya benar Ti ... Kuliah bisa lain waktu bukan? Kamu juga bisa pergi ke kota lain waktu bukan hanya untuk kuliah karna enggak ada yang enggak mungkin dengan takdir allah."

"Aku pasti merindukan kalian berdua." Siti mengusap ekor mata yang baru saja melelehkan cairan yang tidak bisa di bendungnya.

"Kami juga akan merindukan kamu ko, Ti." Asya tersenyum menghibur, " Ooh Hannan emang kamu mau lanjut kuliah?" tanyanya Hannan mengangguk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 26, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HannanWhere stories live. Discover now