Part 19: WEJANGAN

1.5K 173 15
                                    

"Kalau sedih mah pasti atuh. Kan kamu udah lama tinggal di sini," kata Bu Bambang sambil terus mengiris bawang dan membiarkan air matanya jatuh karena kepedasan.

"Tapi, Bu...." Widuri berhenti sejenak lalu kembali menatap bunga-bunga di taman. Bu Bambang menangkap ada sesuatu yang berjalan tidak baik. Dengan sabar ia menunggu Widuri melanjutkan kalimatnya. Keheningan menguasai ruangan untuk beberapa saat. Hanya terdengar suara pisau yang beradu dengan talenan. Karena lama tidak ada kelanjutan dari Widuri, akhirnya Bu Bambang memberanikan diri untuk bertanya.

"Tapi kenapa, Neng?"

Widuri tersenyum. Bu Bambang adalah orang pertama yang memanggilnya dengan sebutan "Neng", panggilan umum untuk perempuan Sunda yang belum menikah, sampai akhirnya Rhea pun ikut memanggilnya Neng. Mulai besok siang, sudah tidak ada lagi panggilan itu.

"Tapi saya nggak suka, Bu. Saya nggak mau jaga toko. Buat apa saya jauh-jauh kuliah, belajar siang malam, kalau akhirnya cuma untuk jaga toko. Lagipula jurusan yang saya ambil juga nggak nyambung, Bu. Saya sudah bilang sama Papa, Bang Theo aja yang jaga toko, tapi Papa nggak setuju. Katanya Bang Theo punya pekerjaan yang nggak mungkin ditinggalkan. Padahal, saya juga kan sudah kerja, Bu. Malah baru masuk kerja," tutur Widuri.

Seperti Biasa, kalau sedang ada yang dipikirkan, Widuri pasti bercerita pada Bu Bambang. Dia selalu mendapatkan pencerahan sesudahnya.

"Orang tuamu pasti punya alasan khusus kenapa mereka menginginkan kamu yang jaga toko."

"Papa pingin supaya saya yang nerusin toko, Bu," jawab Widuri lemas.

Bu Bambang meletakkan pisau di atas talenan lalu membuka pintu dapur. Angin sepoi-sepoi dari taman seketika memberikan kesejukan di dapur. Bu Bambang berdiri di dekat pintu sambil menampi beras. Widuri pun ikut membantu membersihkan pasir dan gabah.

"Wah, enak dong kerja di tempat usaha sendiri. Nggak terikat jam kantor dan meja kerja. Mau libur kapan aja juga bisa."

"Siapa bilang, Bu. Nggak ada kata libur dalam kamus Papa. Hari minggu aja toko tetap buka. Terus, Bu, di kawasan Mangga Dua toko Papa saya tuh terkenal,  buka paling pagi dan tutup paling malam. Ini mau pulang kampung aja, tokonya mesti buka juga."

"Wah, bagus dong. Papamu berarti tekun cari uang," kata Bu Bambang. Widuri mengernyit.

"Apanya yang bagus, Bu? Itu namanya nyiksa diri. Nggak bisa nikmatin hidup," tukas Widuri.

Bu Bambang kembali menampi beras, kulit padi beterbangan tertiup angin. Sesekali Bu Bambang meniup ujung penampi agar beras lebih bersih.

"Kalau Papamu tidak bekerja seperti itu, mungkin kamu tidak bisa kuliah, tidak bisa beli makan, dan tidak bisa bayar kos. Kos di sini nggak murah lho, Neng."

Bu Bambang melirik ke arah Widuri. Senyum kecil terlukis di wajahnya, sementara Widuri terdiam mendengar perkataan Ibu Kosnya tersebut.

"Mungkin Papamu juga ingin istirahat, ingin jalan-jalan, ingin menikmati sisa hidupnya. Makanya dia minta kamu sebagai penerusnya di toko. Tadi kamu sendiri yang bilang kalau Papamu nggak pernah libur."

Benar juga apa kata Bu Bambang. Toko ATK milik Pak Linggom sudah dirintis sejak Widuri belum lahir. Usaha keluarga itu sempat jatuh bangun, namun tetap bertahan. Toko itu bukan hanya memberi makan keluarganya, melainkan juga sepuluh orang karyawannya.

"Tapi Widuri nggak kebayang, Bu, harus ngabisin masa muda Widuri di toko itu." Widuri masih mencoba mengelak.

"Apa kamu pernah membayangkan masa muda Papamu yang dihabiskannya di sana supaya kamu bisa makan, sekolah, kuliah, shopping?"

PROMPTER: Cinta dalam KetidaksempurnaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang