Part 39: ANAK MUDA

1.1K 96 7
                                    

Seminggu sudah Pak Linggom dan Bu Lastri berada di Medan untuk menghadiri acara pemakaman Opung Boru Widuri, Ibu dari Pak Linggom. Mereka harus segera kembali ke Jakarta sebab masa cuti yang Theo ambil untuk menjaga toko mereka di Mangga Dua akan segera berakhir. Hari Senin Theo sudah harus kembali bekerja. Hanya tersisa satu hari, hari Minggu, untuk Theo beristirahat setelah menjaga toko yang buka paling pagi dan tutup paling terakhir itu. 


Sebelum ke bandara, Pak Linggom dan istrinya menyempatkan diri untuk membeli bika ambon dan bolu meranti dengan berbagai rasa sebagai oleh-oleh untuk kedua anaknya dan juga karyawan toko. Kue itu jarang ada di Jakarta, kalaupun ada rasanya pasti berbeda dengan kue dari tempat asalnya.

Pak Linggom merogoh saku celana ketika sudah berada di depan kasir dan hendak membayar semua belanjaannya. Namun, kantongnya kosong. Dompet kulitnya tak ada di saku celana bagian belakang. Pak Linggom merogoh saku celana bagian samping, juga tidak ada. Begitupun di saku kemeja dan di dalam tasnya. Jantungnya berdebar kencang. Seingatnya dia sudah memasukkan dompetnya ketika mau berangkat tadi. Pak Linggom yakin sekali.


"Ada apa, Pa?" tanya Bu Lastri. Istrinya itu menangkap sesuatu yang tidak beres ketika melihat suaminya bolak-balik merogoh saku dan tas.


"Dompet saya kok nggak ada, ya?"


"Coba periksa lagi, Pa," kata Bu Lastri supaya suaminya itu benar-benar mengecek dengan teliti. "Sebentar ya, Mbak," katanya lagi kepada kasir yang mulai gelisah. Di belakang mereka pun sudah ada beberapa orang yang mengantre untuk membayar belanjaannya.


"Masih belum ketemu, Pa?"


Pak Linggom menggeleng. Bu Lastri kembali melihat kerumunan orang yang mengantre di belakang mereka, sudah semakin panjang. Akhirnya Bu Lastri mengeluarkan kartu debetnya dan membayar semua kue yang mereka beli. Ketika mereka hendak meninggalkan toko kue, seorang pemuda memanggil Pak Linggom.


"Pak Linggom... tunggu, Pak," teriak pemuda itu sambil berlari kecil.


Merasa namanya dipanggil, Pak Linggom membalikkan badan. Bu Lastri pun mengikuti gerakan suaminya itu. Suara yang memanggil namanya sangat asing di telinga Pak Linggom, bahkan tidak dikenalnya. Tapi kenapa pemuda itu bisa tahu namanya? Apakah ada Linggom lain yang juga ikut membeli oleh-oleh di toko ini?


Kini di hadapannya berdiri seorang pemuda bertubuh gempal. Pemuda itu mencoba mengatur napas sebelum akhirnya berbicara dengan Pak Linggom.


"Apa ini dompet, Pak Linggom?" katanya seraya menyodorkan dompet kulit.


Pak Linggom mengambil dompet itu dan memeriksa isinya. Utuh.


"Maaf, tadi saya buka dompet Bapak. Waktu Pak Linggom masuk tempat ini, dompet Bapak jatuh waktu tadi mengeluarkan sapu tangan dari saku celana," terangnya, "Saya panggil-panggil Pak Linggom, tapi sepertinya Bapak tidak dengar. Tempat ini ramai sekali," lanjutnya lagi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.


Jarang sekali ada pemuda jujur seperti dia. Pak Linggom mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah dan memberikannya pada pemuda itu sebagai ucapan terima kasih.  


"Tidak usah repot-repot, Pak. Saya ikhlas membantu,"tolaknya sambil mengangkat kedua tangan di dada. 

"Terima kasih ya, Nak. Kalau nggak ada kamu mungkin dompet saya tidak akan kembali."


"Sama-sama, Pak. Saya mau lanjut beli oleh-oleh  buat teman-teman dulu. Permisi, Pak."


Pemuda itu kembali bergabung dengan kerumunan manusia yang sibuk memilih oleh-oleh khas Medan itu. Beruntung dia bertemu dengan pemuda baik hati itu. Kalau tidak, habis sudah. Dompet itu tidak hanya berisi uang, KTP sampai kartu kredit juga ada di dalamnya.

PROMPTER: Cinta dalam KetidaksempurnaanWhere stories live. Discover now