It's Me | 14

1.3K 101 0
                                    

Matanya menatap keluar jendela. Hari ini, ia sedikitpun tak memiliki keinginan untuk keluar dari kamarnya. Mendengar suara pintu yang terbuka, Athif mendekat ke arah tempat tidurnya lalu duduk di tepi sana.

Sembari meletakkan nampan berisi makanan di nakas, Raihan melempari putranya senyum. Raihan mendudukkan dirinya di sebelah Athif. Matanya menatap iba putra sulungnya itu. Sejak kemarin, Athif bersikap dingin padanya. Ralat. Pada Rifqie dan suaminya pun begitu. Meski demikian, Raihan mencoba untuk memahami perasaan Athif.

"Sarapannya jangan lupa dimakan. Dan juga, obatnya jangan lupa. Tanganmu masih nyeri, kan?" Raihan bertanya. Namun, Athif malah bungkam.

Athif menghela napasnya.

Kasihan. Sekarang ia tengah membenci satu kata itu. Sejak keluarganya mengetahui perihal pergelangan tangannya yang patah itu, semuanya melemparinya tatapan kasihan. Sungguh, ia benci dikasihani seperti itu.

"Sayang, ayo makan! Mau Mamah suapin?" Raihan bertanya lagi karena Athif tak juga membuka suara.

"Mah," desis Athif akhirnya. "Athif bukan balita lagi. Athif udah besar. Walau tangan kanan Athif patah, Athif masih bisa makan pakai tangan kiri."

"Tapi kan gak baik makan pakai tangan kiri."

"Yah, terpaksa, mau gimana lagi?"

"Terserah kamu, deh." Raihan menatap wajah putranya sedih.

"Mah, Athif gak suka dikasihani. Athif bukan laki-laki lemah. Athif gak suka Mamah natap Athif kayak kasihan gitu." Ujar Athif jujur.

"Bukan begitu, Thif. Mamah sayang sama kamu. Mamah ikut sedih lihat anak Mamah kayak gini. Mamah tahu, ikut turnamen basket tingkat nasional itu adalah mimpi kamu. Mamah tahu, kamu pasti kecewa. Tapi, kamu gak boleh putus asa kayak gitu. Ini adalah takdir Tuhan." Raihan mulai menasihati Athif supaya Athif tidak berlarut dalam kekecewaannya.

"Mah, Athif ngantuk! Tinggalin Athif ya?"

"Pagi-pagi kayak gini ngantuk, padahal tadi subuh baru bangun." Jeda beberapa detik, "Athif, kamu harus semangat dong! Mungkin, di lain waktu, bukan hanya nasional kamu bahkan bisa tembus internasional. Yasudah, itu makanannya harus habis!" Raihan menunjuk ke arah nampan yang ada di atas nakas.

"Awas ya, kalau kamu bunuh diri!" Raihan memperingati.

Athif menatap Raihan datar. "Athif gak selebay itu, Mah. Cuman patah pergelangan tangan pakek bunuh diri segala."

"Yasudah, Mamah tinggal ya?" Raihan bangkit berdiri. Setelah menerima anggukan dari Athif, ia berlalu pergi.

Athif menatap nampan berisi makanan itu sekilas. Lalu membaringkan tubuhnya di kasur.  Ia sama sekali tidak selera untuk sarapan pagi ini.

Matanya menatap langit-langit kamar. Sedangkan pikirannya tertuju pada beberapa hal yang berkaitan dengan turnamen basket besok. Sungguh, ia sangat ingin ikut turnamen itu. Tapi, apa boleh buat? Kesempatannya hilang begitu saja. Dengan tangan yang seperti itu bagaimana bisa ia memasukkan bola ke ring? Untuk digerakkan saja rasanya begitu sakit dan nyeri.

Athif memejamkan matanya walau sebenarnya ia sama sekali tidak mengantuk.

***

Selain merutuki dirinya sendiri dalam hati, Arsyfa begitu gelisah. Ditambah hari ini ia tidak bertemu dengan Athif di kampus.

Ceroboh, pelupa, jika sekarang ada obat yang bisa membantunya mengusir dua kata yang melekat pada dirinya itu maka Arsyfa akan langsung mengonsumsinya. Ia tak ingin lagi dipertemukan dengan masalah yang ditorehkan oleh dua sifat itu. Ia takut, kalau ia akan membenci dirinya sendiri. Ia pun takut, kalau orang yang dicintainya ikut membencinya karena ia ceroboh dan pelupa.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Arsyfa memukuli kepalanya sendiri.

"Lo sehat?"

"Lo kenapa?"

Nah, kan. Ia lupa lagi. Sekarang ia berada di sebuah kafe bersama Rika dan Cindy. Lalu, ia berhasil membuat kedua temannya yang duduk berhadapan dengannya itu keheranan.

"Lo lagi galau?" tanya Rika sembari menyesap vanilla latte.

"Gue bodoh, kan?" tanya Arsyfa dengan wajah hampir menangis. Jujur, semalam ia sempat menangis memikirkan keadaan Athif. Di satu sisi ia tidak berani menghubungi nomor Athif untuk bertanya bagaimana keadaan cowok itu.

"Iya, lo bodoh. Baru nyadar?" cibir Cindy.

"Gak, lo pinter kok." Balas Rika. "Lo kenapa sih? Bikin penasaran aja."

Arsyfa menghela napas berat. "Lo tau kan pergelangan tangan Athif patah?"

Cindy dan Rika mengangguk. Kabar Athif tersebut memang sudah tersebar di kampus. Karena sebagai unggulan dalam tim basketnya, Athif tak bisa ikut turnamen karena itu.

"Gue ceroboh, bodoh, terus pelupa. Gue yang menaruh kulit pisang di atas tangga lalu keinjak sama Athif. Terus kalian tau sendiri apa yang terjadi." Jujur Arsyfa.

Rika dan Cindy terkejut mendengarnya.

"Lo serius? Gak lagi bercanda, kan?" Rika sedikit ragu.

"Jadi, lo? Wah, lo udah ngerusak mimpi dia. Lo emang sangat ceroboh," ketus Cindy.

"Gue, mohon. Rahasiain tentang ini pada siapapun ya?" di satu sisi Arsyfa takut Athif tahu.

"Lo harus jujur, Fa. Gue yakin, dia pasti bakalan maafin lo. Lagian dia juga salah, kenapa turun tangga gak hati-hati?" ucap Rika.

"Gue gak bisa jujur sama dia. Gue takut," mata Arsyfa berkaca-kaca. "Gue takut dia bakalan marah sama gue. Bahkan parahnya lagi dia akan benci sama gue dan dia bakalan ngejauhin gue."

"Gue tau itu sulit buat lo lakuin, tapi, lo harus berani jujur." Ucap Rika.

"Ya, pasti bakalan susah. Secara, kecerobohan lo itu udah ngerusak mimpi dia. Saran gue, yah jujur aja terus lo jauh-jauh deh sama dia." Ucapan Cindy dari tadi ketus terus.

"Jangan kayak gitu juga! Bilang aja lo senang kalau Arsyfa jauh dari Athif." Sindir Rika pada Cindy.

"Emang iya. Gue gak suka Arsyfa dekat-dekat sama cowok yang gue suka." Cindy melipat kedua tangannya di dada.

Arsyfa menundukkan kepalanya dengan lemah. "Gue gak bisa jujur. Tapi, gue bakalan tanggung jawab."

"Tanggung jawab? Emangnya lo bisa?" Cindy meragukan Arsyfa.

"Gue bakalan lakuin apapun, yang penting gue tanggung jawab atas kecerobohan gue," tekad Arsyfa.

"Walaupun gue gak bisa jujur sama dia," sambungnya.

Cindy menatap Arsyfa dengan tatapan tak suka. "Kalau begitu, lo bakalan dekat-dekat dengan Athif gitu?"

Arsyfa mengangguk mantap.

***

See you next part.

Maaf pendek, dan juga maaf atas segala kekurangannya.

29 Maret 2019

By,

Warda

It's Me (END)✔️Where stories live. Discover now