02. Kabar dari Seberang

149 26 5
                                    

Berkabar adalah hal penting
Sebab, disanalah terjalin komunikasi pemupuk jalinan kasih-mengasihi.
🍃🍃🌹🍃🍃

"Ayo, Nak masuk... Dia akan baik-baik saja dalam mengemban tugasnya," terang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh makna. Ia paham seperti apa perasaan menantunya itu ketika baru menikah sudah harus ditinggalkan.

"Ah, iya Ibu... Aamiin, semoga,"
ucar Kiara terhenyak dari lamunannya. Sesaat sebelumnya gerbanglah yang  menjadi titik fokusnya.

"Begitulah, Nak pekerjaan suamimu...." tangan kanan sang mertua memeluk bahu menantunya dari belakang sembari mereka berjalan beriringan.

"Ibu dulu waktu awal ditinggalkan tugas oleh Aksa juga merasa sangat khawatir, lantas bukan berarti sekarang ibu sudah tidak khawatir loh ya...." Senyum lembut menjeda ucapannya. Kiara paham sekarang dari mana diturunkannya senyum lembut dan tatapan penuh keteduhan milik Aksa. Tidak lain dari wanita mulia itu.

"Hanya saja ibu sudah membiasakan perasaan untuk yakin sepenuhnya bahwa dia akan baik-baik saja atas lindungan-Nya."

"Iya Ibu... Saya akan belajar banyak dari Ibu, untuk menghadapi situasi seperti sekarang ini..." Kiara tersenyum lembut menutup kalimatnya. Betapa hangat dan lembut gaya bahasa ibu mertuanya. Jauh berbeda dari ketakutan-ketakutannya sebelum menikah dahulu. Lebih tepat sahabatnya yang menjejalkan pikiran-pikiran menyimpang itu. Meski ia sangat paham maksud baik dari sahabat dekatnya itu.

Katanya hidup seatap dengan mertua itu penuh aturan dan banyak hal menjadi larangan tak terkecuali tentang siapa yang menjadi suaminya kini turut ia tanggapi. "Kau yakin siap menikah di usia muda, dengan tentara pula?" Itulah kata yang sering kali dikonfirmasi oleh Gealdis atau lebih sering disapa Gea oleh Kiara. Ya, salah satu sahabat sejak kecilnya.

Lain halnya Ara dengan petuah bijaknya. "Jangan melebih-lebihkan hal yang kau sendiri belum alami, Ge... Tidak semua khayalanmu berkat film-film itu terjadi di dunia nyata. Ayolah apa yang terjadi dalam hidup ini bukan cerita fiksi yang dengan sesuka hati kau bisa lebih-lebihi alur ceritanya..."

Ucapnya terjeda menyecap es kelapa muda sembari menikmati semilir angin di pantai yang mempesona itu. Kali ini tatapannya beralih kepada Kiara.
"Tidak ada salahnya kau memulai tahap ta'aruf dengannya. Perkara cocok atau tidak di hati kau sendirilah yang sepenuhnya berhak untuk memutuskan."

"Kalian butuh mengenal dan memahami satu sama lain. Sebab, dalam sebuah pernikahan semua berawal dari bukan siapa-siapa sebelumnya, hingga pada akhirnya tak lagi bisa tenang jika tanpa kehadirannya." Kiara mengakhiri lamunan singkatnya, beralih pandang menatap penuh minat perhatian ibu mertua yang memang betul adanya. Ia merasa betapa beruntungnya ia dijadikan menantu oleh keluarga penuh kehangatan ini.

"Jadi, kau jangan sunggan ya, Nak untuk bertanya segala hal tentang suamimu itu." Ayah mertua berkata tenang menyela keasyikan mereka dalam bercerita.

"Nah, iya... Ibu tentu siap menceritakan banyak hal kepadamu, sayang. Nanti ya selepas jam magrib ada sesuatu yang ingin Ibu tunjukkan untukmu."

"Baik, Ibu...." jawab Kiara dengan senyuman di ujung ucapannya.

*****

Terdengar suara ketukan di pintu kamar Kiara. Gadis itu beranjak selepas meletakkan mukenah pada tempat semula.

Wanita itu menampilkan senyuman lembut di balik pintu yang dibuka oleh Kiara beserta sesuatu di tangannya.
"Ibu..." Album foto? batin Kiara.

"Ayo lihatlah ini sayang..." Wanita itu membimbing Kiara masuk lalu duduk untuk meneliti apa yang tengah ia bawa serta.

"Ini Kak Aksa saat balita, Bu?" ucapnya dengan mata berbinar-binar meneliti gambar seorang anak laki-laki berbaju biru dengan tangan memegang kaca mata sembari menengok ke arah kamera."

MUARA CINTAWhere stories live. Discover now