Terjebak Ingatan Lama

18.4K 2.3K 358
                                    

Aku membiarkan jemariku bersentuhan dengan hujan. Lalu satu persatu rasa pun menyapanya. Menyentuh seluruh bagian dengan kesannya lalu meneteslah menghilang, begitulah terus berulang. Hingga dingin itu tiba. Jari-jariku pun terdiam dalam beku sang waktu. Tak tahu harus bagaimana. Hanya bisa tetap menengadahkan tangan, berharap hujan akan lebih berteman dan mendatangkan lagi rasa-rasa yang tak bernadir hambar. Tak perlu hangat yang ngengat, cukup rasa sederhana saat jariku merasainya ada. 

-Ara-

***

Rasa haus membuatku berani melawan kantuk dan menyusuri ruangan-ruangan gelap yang membatasi kamarku dengan dapur. Aku tidak sempat melihat jam dinding, tapi aku yakin ini masih malam. Terlihat dari langit yang nampak masih gelap di balik jendela kamar tamu. Aku yang telah berada di dapur langsung mengambil gelas dan menuntaskan keinginanku untuk minum.

Setelah merasa cukup, aku beranjak menuju kamarku lagi. Saat aku sampai di ruang tamu, sebuah suara menggema begitu keras disusul suara lain yang tidak mau kalah. Mereka beradu argumen. Hingga suara makin ramai sepertinya kekesalan membuat kedua pemilik suara tega menumbalkan barang-barang yang tidak berdosa di sekitar mereka. Keramaian makin menjadi-jadi dengan meledaknya tangisan.

"Ibu...," kataku setelah mengenali suara tangis itu. Aku membelokkan langkahku menuju kamar ibu, tapi suara selanjutnya membuat lututku kehilangan kemampuannya untuk menompangku berjalan.

Suara teriakan laki-laki itu. Laki-laki yang kubenci dan sekaligus aku takuti. Kenapa dia bisa ada di sini? Dan beraninya dia melakukan lagi hal itu kepada ibu. Tapi aku yang kehilangan kemampuan berjalan hanya bisa meringkuk sambil memeluk kedua lututku. Air mata mengalir begitu saja dan tubuhku menggigil tanpa bisa aku kontrol.

Suara-suara itu makin keras, aku yang mati langkah hanya mampu menutup kedua telingaku. Sayangnya, aku lebih dari bisa membayangkan apa yang terjadi di kamar ibu. Meski aku tak melihatnya langsung, tapi pikiranku dengan sengaja menggambarkannya secara nyata seakan aku ada di sana. Dadaku sesak, aku benci diriku yang kerdil ini. Ketakutan membuatku kecil, membuatku berdalih pantas untuk bersembunyi menyelamatkan diri. Dan membiarkan ibu makin terjerembab dalam lukanya sendiri.

Tidak, aku bukan Ara yang dulu. Aku lebih besar sekarang. Aku bukan anak kecil lagi. Kukuatkan kakiku untuk berdiri. Sesekali aku jatuh, tapi dengan bantuan dinding akhirnya aku bisa menyusuri ruang demi ruang untuk bisa sampai ke kamar ibu. Kuusap semua keringat dingin yang membasahi wajahku, aku buka pintu kamar itu. Ibu terlentang dan kedua tangannya melindungi wajahnya. Sedangkan orang jahat itu sedang asyik melampiaskan kekesalannya dengan memanfaatkan kelemahan fisik ibu. Kuseret kakiku yang bergetar hebat. Kudekati laki-laki berbadan tambun itu. Kupiting lehernya dan kutarik sampai mendekati tembok terdekat. Kupelototi matanya yang nyalang dan kuremas kuat kerah bajunya.

"Aku nggak akan pernah ngebiarin Bapak nyakitin Ibu lagi," ucapku dengan nada mengancam. Tapi ada yang aneh wajah laki-laki itu tiba-tiba menjadi lebih muda. Badannya pun berubah lebih kurus. Kupandangi lagi wajah itu dengan lebih menyeluruh seketika kaca-kaca di mataku pecah. Tanganku melemas dan tak mampu meremas kerah bajunya. Gigilan tubuhku makin menggila hingga kupanggil nama pemilik wajah yang ada di depanku ini dengan terbata-bata, "Kak Wira...."

***

Aku terbangun dari tidurku secara paksa dan ibu sudah duduk di tepi tempat tidurku. Sepertinya aku mengigau cukup keras hingga ibu datang ke kamarku untuk membangunkanku.

"Kamu nggak apa-apa, Ra?" tanya Ibu cemas kepadaku sambil mengelap semua keringat yang membasahi wajah dan leherku padahal hawa malam ini cukup dingin.

"Ara cuma mimpi buruk Bu,"jawabku masih dengan napas yang tersengal-sengal.

"Besok kita ke Dokter Adrian ya?" sahut Ibu sedikit merengek.

Stairways to HappinessWhere stories live. Discover now