Bagian 13

18.3K 3K 181
                                    

"Mau kemana pagi-pagi udah rapi?" Mami memandangiku dengan tatapan menyelidik, dia paling tahu jadwal kerjaku, dan melihatku berpakaian rapi disaat libur kerja pasti membuat pertanyaan di kepalanya.

Aku menurunkan sedikit bola mata saat menjawab, "Bentar lagi Aga jemput."

Kulirik Mami menipiskan bibirnya, memutar langkah menjauh. Tapi baru berapa langkah sahutan keluar dari bibirnya. "Dulu kalau Mami minta izin keluar tapi Opungmu bilang 'terserah' Mami langsung tahu kalau itu bentuk larangan. Dan ujungnya Mami nggak akan pergi. Tapi anak-anak sekarang memang beda. Jangankan disindir, jelas-jelas dilarang aja membangkang."

Aku menarik napas dalam, menyaksikan Mami semakin menjauh. Bahkan setelah menangis semalaman aku masih menunggui Aga di teras seperti ini? Batinku menertawakan diri sendiri.

Kemarahan yang memuncak semalam, menyurut menjadi rasa lelah. Pikiranku mengambang, tak bisa memutuskan apa yang tepat, atau sejatinya aku memang dilahirkan menjadi orang yang tak bisa mengambil keputusan sendiri—lebih tepatnya tak diizinkan—mengambil keputusan.

Melihat mobil Aga tiba, aku langsung berdiri dan menghampiri. Aga sudah membuka pintu dengan kaki yang keluar menapak tanah. Namun, bisa kulihat keningnya langsung berkerut saat melihatku memutari sisi mobil, naik ke kursi penumpang. Butuh beberapa detik bagi Aga untuk menatapku, sebelum kembali menghidupkan mesin mobilnya. Tampilannya segar dan rapi, mengenakan kemeja, namun lingkaran hitam di bawah matanya sulit ditutupi. 

Beberapa kali saat mobil bergerak lambat aku sadar Aga melirikku. Namun pandanganku tetap mengarah keluar jendela.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami sampai di kantor urusan agama. Bahkan setelah menyelesaikan urusan, dan kembali ke mobil.

Aku baru tahu kemana Aga membawaku saat mobil kembali berhenti di sebuah butik khusus pria. Di sana aku juga hanya duduk di sofa tunggu dengan tatapan tanpa minat. Sedangkan untuk pakaian pernikahanku, aku sudah melakukan fitting bersama Mama Aga minggu lalu.

"Mama suruh ke rumah. Mau pilih undangan," kata Aga ketika selesai.

Aku hanya diam tidak menyahut, tidak mengangguk.

Aga membuka mulut hendak berkata lagi, namun urung dilakukannya. Aku tidak mengkonfrontasinya dengan balasan tajam seperti biasanya, mungkin itu membuatnya kebingungan dan salah tingkah saat ini.

***

"Kok nggak bilang mau ke sini? Tahu gitu tadi Mama masak banyak." Sahutan ramah Mama Aga pertama kali saat membukakan pintu kontan membuatku menoleh ke Aga, sedangkan Aga menatap lurus ke Mamanya. Dia hanya mengarang alasan rupanya.

Papa tiri Aga muncul tak lama. "Kalau Nina mau makan yang lain, Om tinggal beliin di warung depan. Gampang."

Mama Aga langsung mencubit perut suaminya. "Ayo pada masuk."

"Undangan yang kemarin Mama tunjukin. Nina mau lihat."

Bibirku menipis melotot ke Aga. Dan sekarang dia jadiin aku kambing hitam?!

"Oh... ya ampun. Iya. Kemarin itu tante kirimin gambarnya ke Aga. Emang nggak puas kalau nggak liat langsung ya kan."

Aku menghela napas kasar. Duduk di sofa ruang keluarga setelah dipersilakan dengan ramah oleh Papa Aga.

Tak lama Mama Aga muncul membawa sample undangan. "Nih, coba dilihat. Nina suka model yang mana?"

Aku tahu ini akan berbuntut panjang jika aku menjawab, 'terserah Tante' jadi aku berpura meneliti. Dan dengan cepat menyodorkan undangan berwarna krem dengan ukiran tulisan berwarna gold kepada Mama Aga. "Yang ini aja, Tan."

After He Comes BackWhere stories live. Discover now