Bagian 14

17.5K 3K 154
                                    

Hari ini keluarga Aga datang memberikan hantaran. Kurang dari sebulan lagi, pernikahan kami hampir dipastikan akan dilaksanakan. Tetapi ada sesuatu yang menggangguku sedari tadi, yaitu sosok Ayah kandung Aga yang tak menampakkan batang hidungnya. Meski Aga beralasan Papanya sedang keluar kota.

Namun, keadaan tak nyaman ini aku yakin bukan hanya menggelayuti hatiku, harusnya Aga juga merasakan bagaimana Mami—bahkan tak menampilkan segurat senyum pun—sejak kedatangan keluarganya. Aku hanya berharap, sebagian kecil keluarga Mami Papi yang juga berada di rumahku tak menyadari keadaan canggung ini.

Setelah proses acara formal selesai, aku mengambil kesempatan untuk menjauh. Aku merasa perlu mengambil udara segar sedikit, meski gerak-gerikku tak lepas dari tatapan Aga. Pria itu hari ini mengenakan setelan batik, sambutnya dipangkas rapi. Jika ini dua tahun lalu bisa dipastikan pipiku akan merona sepanjang hari melihatnya.

"Om penasaran. Jika nggak ada tragedi itu. Apa kamu akan tetap memberi Aga kesempatan kedua? Lebih memilih dia ketimbang Pras."

Aku tersentak mendengar pertanyaan bernada sarkas itu. Dan mendapati Om Iko yang berada di sampingku.

Om Iko masih mengamatiku, aku menyadari ada kilat amarah di sudut matanya. Dan rasanya saat ini kepalaku mau pecah. Kupejamkan mata sesaat sebelum membalas tatapan Om Iko, dan berkata. "Satu kesalahan besar yang Nina lakukan adalah membiarkan Mas Pras mengambil bagian sementara hati Nina belum sepenuhnya sembuh. Kenapa kalian berpikir pilihan hanya Mas Pras atau Aga? Bahkan hingga detik ini Nina berpikir sendiri lebih baik. Jauh dari tekanan siapa pun."

"Dia menekanmu? Om tau dia nggak pernah berubah."

"Om—"

"Dia yang membuat kamu harus—dan hanya—memilih dia. Tapi kejadian waktu itu juga kesalahan Om. Jadi Om juga punya andil untuk membereskannya."

Aku baru hendak menyahut, namun Om Iko lebih dulu menjauhkan diri. Melangkah pasti menuju Aga, membisikkan sesuatu. Mataku membeliak menatap penuh antisipasi, dengan percikan rasa was was mulai menyelimuti ketika mereka berjalan ke arahku.

"Aku udah membicarakannya dengan Nina. Sebaiknya kalian membuat perjanjian Pra Nikah yang di sah kan secara hukum. Jika terjadi sesuatu pada pernikahan—misal, orang ketiga, kdrt, dan lain sebagainya, yang bisa mengancam keberadaan istri, maka pihak keluarga istri dapat mengambil alih untuk membuat keputusan. Dan jika kelak terjadi perceraian maka hak asuh anak—jika ada—akan jatuh ke tangan sang Ibu."

Aga menatapku dan Om Iko bergantian. Tak lama dia mengangguk. "Aku pernah mendengar perjanjian semacam itu. Tapi itu artinya aku juga bisa menambahkan poin perjanjian di dalamnya kan?"

Alis Om Iko bertaut tak senang. "Ya," katanya tajam.

"Seperti, dilarang pisah ranjang. Mencium pipi suami setiap hari/setiap pergi kerja. Memiliki waktu minimal satu jam sebelum tidur untuk bercerita kegiatan harian masing-masing. Dilarang bertemu mantan tanpa seizin suami/istri—"

"Aku nggak setuju," seruku.

"Kalau begitu aku juga bisa nggak menyetujui poin yang akan Om buat," balas Aga dengan sama sekali tak menatapku. "Sebenarnya, persyaratan yang Om ajukan bahkan akan aku ikrarkan dalam janji pernikahan. Janji yang akan aku pertanggung jawabkan dihadapan keluarga besar, Papi, lebih lagi di mata Tuhan." Aga menjeda, kemudian menatapku. "Tapi nggak apa, dengan begini kita jadi tahu, siapa yang berkeberatan tidur seranjang, mencium pipi suaminya setiap hari, meluangkan waktu untuk saling bicara, dan... merasa nggak berkewajiban meminta izin menemui mantan."

Aku menatap Aga dengan kening berkerut marah dengan bibir bawah tergigit. Dia begitu pintar memancingku. Begitu pintar menjebakku. Saat Om Iko melirikku penuh arti aku bahkan tak mampu untuk menyahut.

Namun, tak lama aku begitu tersentak saat Om Iko menarik kerah kemeja Aga. "Om," seruku panik. Dadaku berdesir, dengan jemari terasa dingin, ketegangan di antara kami meningkat berkali lipat.

"Dan sekarang lo merasa berhak mendapat perlakuan itu setelah apa yang kamu lakukan ke Nina? Gue yang lebih tau dari siapa pun gimana menderitanya Nina, setelah laki-laki brengsek kayak lo berani-beraninya patahin hati dia dan pergi seenaknya!" desis Om Iko.

Aku menelan ludah dengan susah payah, menyematkan jemari ke lengan Om Iko. Takut jika situasi ini membuat kericuhan. "Om," bisikku memelas. Tapi, Om Iko nggak memedulikan, tatapannya bahkan nggak berkedip ke arah Aga.

"Aku tahu," sahut Aga masih sanggup mengontrol nada bicaranya. "Tapi saat aku kembali pilihannya hanyalah, melihat Nina di pelaminan dengan pria lain. Atau aku yang duduk berdampingan dengan Nina di pelaminan."

Aku hampir saja menjerit saat secepat kilat Om Iko melayangkan tinju ke sudut bibir Aga. Telapak tanganku bersarang erat di bibir. Aga hanya terhuyung tak sampai terjatuh. Dengan panik aku melarikan tatapan ke dalam, untungnya tak ada orang lain yang menyadari apa yang terjadi di sini.

"Untuk itu lo halalkan segala cara! Karena lo nggak ada apa-apanya dibandingin Pras."

Aku menarik lengan Om Iko, memeluknya erat. "Nggak sekarang Om, plis. Ada keluarga besar kita di dalam," bisikku dengan nada bergetar.

"Jika perjanjian Pra Nikah membuat Om tenang maka lakukan. Jika persyaratanku terlalu berat, maka aku akan melunturkannya, menyisakan bagian 'dilarang bertemu mantan tanpa seizin pihak kedua'."

Wajah Om Iko semakin memerah. "Sekali lagi. Sekali lagi lo nyakitin Nina. Gue sendiri yang bakal pastikan lo nggak akan ketemu Nina lagi." Om Iko mengacungkan telunjuknya. Melangkah lebar, masuk ke dalam rumah dan ikut menyeretku bersamanya.

Saat menoleh ke belakang, Aga masih berdiam di tempat dan menyorotiku. Sudut bibirnya sedikit membiru, batinku. Berhentilah mengkhawatirkannya barang sedikit saja, maki sisi hatiku yang lain.

-TBC-

28/04/2019 Liarasati

Sorry for typo.

Pikiranku lagi bercabang waktu nulis bab ini. Nggak tau feelnya bakal nyampe atau nggak. 🙏🙏





After He Comes BackWhere stories live. Discover now