[Sevia : 13]

30 13 51
                                    

Part 13: Fainted

"Nah kan, Samuel uring-uringan kalau Caramel nggak masuk," celetuk Alva, ketika mereka sedang di depan kelas IPS 2. Apa yang mereka lakukan? Mengerjai setiap yang lewat di depan sana. Karena depan kelas ini adalah koridor menuju kantin. Otomatis banyak yang lewat sini.

"Halah bacot." Membuka ponsel, Samuel mencari aplikasi game-nya kemudian memainkannya tanpa banyak bicara.

"Ck. Ray ke mana, Dhi?" Ari bertanya. Ray adalah teman sekelas Gandhi yang biasanya mabar dengan Samuel dan Alva.

"Cantik ...," ucap Gandhi menggoda anak kelas yang lewat di depan mereka.

"Woi, Va, kacang mahal ya sekarang."

"Kayaknya Ray nggak masuk deh. Gue nggak liat motornya di parkiran tadi," jelas Alva sambil masih memainkan game-nya. Kali ini Alva dan Samuel bermain sendiri-sendiri.

"Sakit? Bolos?"

"Tauk lah Ar--kampang, gue kalah njir!" Alva terlihat ingin memarahi Ari yang super duper kepo. Akibatnya, Alva kalah di game-nya.

"Ray sakit katanya. Nggak tau sakit apa. Gue kira nggak bisa sakit tuh bocah." Gandhi menjelaskan pertanyaan Ari yang sempat ia dengar tadi tapi ia hiraukan.

"Mencret?"

"Si Ari go*lok tanya mulu. Sambangi noh ke rumahnya, kepo kayak Dora." Diam-diam Samuel mendengarkan. Ia jadi kesal sendiri saat mendengarkan Ari bertanya terus.

"Sam lagi sensi hari ini. Lagi nggak mood soalnya baru ditolak hahaha."

Benar apa yang mereka katakan, beberapa hari ini Caramel tidak masuk sekolah. Feeling Samuel berkata kalau ada masalah lagi pada Caramel. Padahal masih baru satu bulan yang lalu masalah itu hilang.

"Cemen, ditolak gitu aja udah baper. Sambangi lah ke rumahnya sama si Ari--dia kan kepo--"

Plak! Ari menggeplak kepala Alva.

"Sama gue aja, gue pengen tahu rumah tuh cewek cuek di mana ya?" Gandhi ikut berbicara. Dia kan playboy akut.

"Kedatangan lo nggak guna, cuma bikin mata sepet." Mulut sinis ini keluar dari Samuel sebelum cowok itu memutuskan untuk pergi dari kantin saja.

"Jleb banget!"

"Dasar mulut Boncabe!"

***

Empat kali bolak-balik kamar mandi, membuat Caramel kesal. Harusnya ia tidur dengan nyenyak tanpa rasa pusing atau rasa mulas pada perutnya. Seharusnya. Namun kata 'seharusnya' harus ia telan bulat-bulat.

Ia harus menengkurapkan tubuhnya agar bisa tidur nyenyak. Tak menghiraukan suara ponselnya yang terus berdering. Mungkin ada yang mengiriminya pesan beruntun atau yang biasa disebut dengan spam chat.

Mau penting atau benaran penting pun Caramel tidak peduli. Rasa mulas, pusing, dan mager menyatu. Membuatnya harus menahan rasa-rasa itu.

Samuel mengiriminya pesan beruntun saat ia membuka ponsel.

[Samuel]
Ra!
Raaa1!1!
Ke mana si lo? Terdampar? Di suatu pulau? Pulau kapuk?
P
P
Bales elah
Gue tau lo online

[Caramel]
Bri6

[Samuel]
Bukain pintu
Gue di depan rumah lo [Read]

"Demi apa?" Caramel terburu-buru membereskan barang-barangnya di depan televisi. Merapikan rambutnya yang berantakan, mencuci wajah.

Ting!

[Samuel]
Tenang aja
Don't be panic
Gue masih di perjalanan

"Au," keluh Caramel ketika ia menghentikan kegiatannya tiba-tiba. Kepalanya serasa dibentur benda keras. Ia terhuyung sebelum mendarat dengan buruk di kasur.

Ting!

Tin-tin-tin!

Dua suara itu datang bersamaan. Mungkin Samuel sudah datang dan mengirimi pesan Caramel.

[Samuel]
Bukain
Gue tau lo kuat jalan [Read]

Caramel keluar dari kamar. Berjalan pelan menuju pintu utama. Membukanya, sembari mengucek mata yang terasa sembab.

Bruk!

Belum Caramel keluar dari rumah, tubuhnya terjatuh. Sepertinya kepalanya terbentur pintu saat ia membukanya dan tubuhnya ambruk ketika tepat berada di ambang pintu.

"Ra!" teriak Samuel refleks dari depan pagar terkunci. Bau busuk menyeruak. Memenuhi rongga hidung Samuel yang terbuka dari maskernya.

Untuk kedua kalinya, Caramel harus menyusahkan Samuel. Namun kali ini situasinya berbeda. Bagaimana ia masuk ke dalam kalau pagarnya saja tinggi dan lancip.

Kebetulan ini sekitar jam 1 siang. Yaitu waktu di mana orang-orang sedang bekerja. Bahkan jalan ini sepi sekali. Sedang panas-panasnya mungkin adalah waktu yang tepat untuk tidur di rumah dan tidak mengizinkan anak-anak untuk bermain di luar.

"Ra!" seru Samuel lagi. Cowok itu terus menggedor-gedor pintu gerbang. Berharap Caramel terbangun dan membuka pintu. "Ra!"

Bau busuk itu belum juga hilang. Benar-benar mengganggu. Akhirnya cowok itu memutuskan untuk memanjat tembok pembatas pagar di samping kanan yang sepertinya akan menginjak tanaman di bawahnya.

"Ra!" Apa yang harus Samuel lakukan jika sudah seperti ini? Teriak meminta bantuan kepada orang lain? Mencegat taksi?

"Halo?" Samuel memutuskan untuk menghubungi Pinky saja. Cewek itu kan sahabat dekat Caramel. Barang kali ia mau membantunya.

"Halo, Ra? Kenapa?"

"Gue, Sam. Pinky buruan lo ke rumahnya Caramel bawa mobil atau taksi. Caramel pingsan!"

"Ha? Pingsan? Eum tapi gue nggak bisa bawa mobil, Sam! Lagian Bokap gue lagi nggak di rumah. Gimana dong? Eh gue cariin taksi aja ya?"

"Iya, buruan!"

Samuel membuka pintu gerbang dengan kunci yang ada di tangan Caramel. Membukanya lebar-lebar setelah membaringkan Caramel di teras dengan posisi baik.

Memegang dahi Caramel dengan hati-hati. Bahkan, saat tangan Samuel masih berada beberapa cm di atas dahi, ia bisa merasakan hawa panas. Dan benar ketika tangannya sepenuhnya menyentuh dahi cewek itu.

"Panas banget," gumam Samuel. Matanya menutup, ia coba menyentuh dahi Caramel sekali lagi. Gambaran-gambaran sesuatu muncul di hadapannya. Padahal ia sedang menutup mata.

"Gila," gumamnya. "Gue gila."

Ia melepas tangannya karena merasa hawa panas itu seperti akan membakar tangannya.

Perihal bau busuk tadi sudah hilang. Cowok itu tidak lagi menciumnya. Meskipun berganti dengan pandangannya yang terasa aneh.

Teror ini mengerikan. Dalam satu sekolah, Samuel prediksi ada lebih dari satu orang yang mendapat. Hubungan kondisi fisik Caramel dengan teror ini sangat besar.

Brumm.

Suara mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah Caramel. Pinky keluar dan membuka pintu gerbang lebar. Samuel menutup pintu rumah sementara taksi memasuki pekarangan rumah Caramel.

"Gue nggak tau mau hubungi siapa selain lo," ucap Samuel. "Kebetulan hari ini gue ke sini dan melihat Caramel membuka pintu kesusahan."

"Udah lama? Gue datangnya kelamaan ya? Soalnya tadi tuh gue panik banget. Apalagi ini kan Caramel. Berteman lama, baru kali ini Caramel pingsan. Gue nggak tahu harus nyari taksi ke mana." Pinky mengusap keringat di filtrum-nya.

Pinky yang akan menjaga Caramel di dalam taksi sedangkan Samuel membawa motornya sendiri.

Ketika menutup pintu gerbang dan bersiap  pergi ke rumah sakit terdekat, Samuel melirik sekilas batu dan tanaman yang ia injak tadi ketika memanjat pagar.

*****

23-2-19.
Pub: 7-4-19.

A Confession #SeviaWhere stories live. Discover now