[Sevia : 28]

11 1 0
                                    

Part 28: Kematian

"PANGGILAN DITUJUKAN KEPADA SELURUH KETUA KELAS 10, 11, 12, DIMOHON MENUJU RUANG URUSAN SEKARANG JUGA. TERIMA KASIH."

Suara itu menggelegar, namun tidak menghentikan aksi diam-diaman di kelas Caramel. Cewek itu merasa terasingkan di rumahnya sendiri.

Caramel membersihkan mejanya dengan mengambil air di luar serta membeli lap. Ia melakukannya sendirian, kalau dulu Samuel yang membantunya tapi sekarang ia sendiri. Tidak ada Samuel. Cowok itu belum masuk. Dan jika pun ada, Caramel tak sudi cowok itu berpura-pura baik dengannya.

Mau jijik juga itu mejanya, kalau ia masih ingin belajar di kelas itu artinya ia harus membersihkannya sendiri.

Belum selesai Caramel membersihkan mejanya, ketua kelas sudah kembali ke kelas dengan wajah cemas.

"Kenapa? Ada pengumuman apa?" tanya salah satu dari mereka.

"Pengumuman, kita harus mengumpulkan uang sumbangan secara sukarela. Hari ini, guru Matematika kita menghembuskan napas terakhirnya. Alias ...."

Belum sempat ketua kelas melanjutkan apa yang ingin dikatakannya, salah satu siswa menyahut. "Bu Veni? Meninggal? Kapan? Kok bisa sih? Gue belum jenguk."

"Sakitnya tidak bisa disembuhkan, beliau meninggal baru saja."

Semua murid gaduh di dalam kelas. Caramel kesal dan capek karena baunya yang anyir. Hampir saja ia marah-marah menyalahkan anak kelasnya yang tidak mau membantunya.

Lagi pula siapa yang mau membersihkan darah di hari berbaju cerah seperti ini?

"Mendadak banget ya, nggak diliburin nih?"

"Berarti semua guru ta'ziah kan? Kita dipulangkan?"

"Kalian malah antusias banget sih," celetuk salah satu teman.

"Ya kan sekali-kali selain hari Sabtu Minggu, kita bisa libur. Oh iya kan hari Sabtu pun gue enggak libur duh ilah. Nasib."

Kelas menjadi gaduh sekali karena mereka pada sibuk membicarakan hal tidak penting. Sedangkan Caramel berpikir banyak, bagaimana bisa kursinya berdarah-darah seperti ini? Mengapa kejadian darah ini berlangsung bersamaan dengan meninggalnya Bu Veni.

"Iuran sukarela, kawan, jangan mikirin liburnya. Nggak boleh pulang kalau belum iuran," ucap ketua kelas. Menengahi kegaduhan kelas.

"Katanya sukarela ...." Begitupun masih ada yang mengeluh, padahal syaratnya mudah. "Nggak iuran juga nggak pa-pa, kalau nggak ikhlas."

"Nggak boleh. Iuran dulu baru boleh pulang!"

"Dasar ketua kelas pemaksa!"

Caramel merogoh sakunya, mengambil uang yang hendak ia berikan. Namun di saku rok dan baju tidak terdapat uang. Membuat ia harus merogoh tas, mengambil uang di dompet.

Sepertinya ia beruntung karena di tas sudah terdapat tanpa harus membuka dompet. "Loh?" gumam Caramel karena yang ia ambil bukan uang melainkan sebuah kertas yang tadi ia temukan di lorong depan. Yang awalnya berdarah namun menjadi tidak.

Ketika ia buka kertas itu, membuat ia terkejut. Bukan kertasnya, tapi tulisannya. Yaitu;

Korban: guru matematika, Ka---

"Korban apa?" gumam Caramel.

"Kenapa Ra? Lo iuran nggak? Sukarela aja loh, terserah mau iuran berapa asal ikhlas," ujar ketua kelas yang sudah mengampirinya.

"Eh? Iya bentar, gue ambilin." Caramel merogoh tasnya dan membuka dompet.

Suara Pinky mengusiknya, membuat ia tidak fokus dengan berapa uang yang akan ia iurkan. "Apaan ini Ra? Korban, guru Matematika, Ka. Ra ini apa?" tanya Pinky, membuka buka kertas itu.

Pinky temukan kertas itu ketika Caramel meletakkannya di meja Pinky dengan sembarang. Karena mejanya masih belum sepenuhnya bersih. Begitupun Pinky bertanya dengan menutup hidung, ketua kelas juga.

"Apa?" Ketua kelas mendekat, melihat tulisan itu juga. Kemudian menatap Caramel keji. Seperti melihat sampah menjijikkan yang berbau busuk. "Lo ... lo yang ngelakuin ini, Ra? Lo tulis siapa korban yang akan lo celakai. Pertama guru matematika, kedua Ka? Kania?" desak ketua kelas.

Caramel menelan salivanya dengan susah payah. Mengapa menjadi ia yang terfitnah?

Siswa-siswa kelas mengerumun karena merasa ingin tahu dengan apa yang terjadi. Dengan mengucapkan kata 'kenapa' secara berdesakan. Ingin melihat juga tulisan pada kertas itu.

Sedangkan Pinky masih syok, tidak paham dengan keadaan saat ini. Betapa ia tidak percaya jika semua teror ini adalah ulah Caramel sendiri. Cewek itu ingin menangis saja saat ini. Karena telah tertipu dengan wajah polos Caramel.

Suara gaduh bertambah gaduh lagi, keadaan memanas.

"Mobal! Ternyata pelaku teror adalah si korban itu sendiri."

"Sok polos banget jadi cewek."

"Dasar, untung gue enggak pernah ikut campur urusan dia."

"Yang bunuh Bu Veni cewek polos berkacamata itu? Padahal kan cantik, kayak nggak percaya gitu."

"Jangan tertipu dengan wajah cantik dan polosnya, dari awal kan dia emang misterius."

"Ra?" panggil ketua kelas. "Hari ini lo nggak boleh pulang. Ke ruang BK dan selesaikan masalah lo dengan guru BK. Masalah ini serius, bukan main-main. Apalagi soal korban."

Caramel hanya diam memilin roknya dan menggigiti bibir dalamnya. Tidak tahu apa yang akan ia katakan karena percuma saja ia berkata. Yang mendengarkan tidak ada, sekali pun itu Pinky.

Ah iya Pinky.

Caramel masih membersihkan mejanya ketika semua siswa pulang dari sekolah. Itupun dibarengi dengan kertas-kertas yang dilemparkan oleh siswa-siswa kepada Caramel.

Hampir saja ia menangis, namun ia tahan. Bukan ia pelakunya, dalam hati ia berdoa semoga ini hanyalah mimpi. Mulai dari awal saat ia mendapat teror pertama.

Setelah meja dan kursi itu bersih, Caramel keluar dari kelas. Melihat Pinky berdiri di balkon dengan ketua kelas. Melirik Caramel sekilas kemudian membuang muka.

"Pinky?" panggil Caramel. "Gue ...."

"Ra, jujur sama gue, benar itu lo? Benar pelakunya lo?"

Caramel menggeleng, air mata sudah di pelupuk tetapi Caramel menahannya sampai air mata itu masuk lagi dan tidak akan keluar dari sana kecuali karena hal mengharukan.

"Gue cuma butuh kejujuran lo, Ra. Gue nggak nyangka lo ngelakuin ini, karena apa? Biar dapat perhatian dari banyak orang?"

"Pinky ...." Caramel menubruk tubuh Pinky untuk ia peluk. Cewek itu diam saja, tidak melepas atau membalas pelukan Caramel. "Just believe me, gue nggak pernah ngelakuin itu. Kertas itu ada penjelasannya yang lo nggak akan tahu," ujar Caramel.

Pinky diam, Caramel diam. Ketua kelas hanya memperhatikan keduanya. Persahabatan keduanya aneh, mengapa Pinky bertahan dengan cewek cuek seperti Caramel.

Siapa yang tidak percaya jika pelaku dari teror tersebut adalah si cewek misterius yang jarang berkomunikasi dengan orang lain? Pasti semua orang akan menyalahkan Caramel sekalipun cewek itu adalah korban pertama atau bahkan korban utamanya.

"Pinky, lo nggak akan percaya dengan ini, bukan gue pelakunya." Caramel masih memeluk tubuh Pinky seakan mereka adalah dua bersaudara.

"Waktu udah selesai, lo harus ke ruang BK sekarang juga. Mumpung gurunya masih belum pulang," ucap ketua kelas.

Caramel melepas pelukan mereka, melirik dulu ke dalam kelas sebelum ia pergj dari sana.

*****

Create: 17-6-19.
Pub: 28-7-19.

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang