4. Menuju hari H.

6.6K 335 48
                                    

Gadis itu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja dengan mata yang sesekali menatap pintu. Menunggu seseorang yang ia ajak bertemu untuk membahas hal penting.

Sudut bibirnya terangkat melihat sosok yang ditunggu sudah datang. Tangannya terangkat dan melambai untuk memberi tahu keberadaannya.

"Maaf, ya Kakak telat, macet banget tadi." Sosok itu tersenyum tak enak dan duduk di hadapan gadis yang sudah menunggu lebih dari 15 menit.

"Santai aja, Kak. Aku juga baru dateng."

"Jadi kamu mau bahas apa sampai ngajak ketemu?"

"Kakak udah tau kalau Abang bakal nikah?"

Gadis yang tak lain adalah Alena itu tampak berhati-hati, takut akan membuat lawan bicaranya sakit hati.

Eliza Caroline, sebut saja El yang sebelumnya menyandang gelar kekasih dari putra sulung keluarga Saddam itu terkekeh. "Tau, Fathur udah cerita sama Kakak. Lalu kenapa?"

"Ah, kita pesan minum atau makan dulu, ya? Kamu pasti buru-buru ke sini tadi."

"Em, nggak usah, Kak. Aku udah pesen tadi, bentar lagi juga dateng. Btw, Kak El udah liat calon istri Bang Fathur yang bakal gantiin posisi Kakak itu?"

"Belum, sih. Fathur bilang akan mengirim fotonya nanti. Dia cantik, ya? Atau bagaimana?"

Alen mendengus sebal, mengingat pertemuan pertama mereka dan bentakan sang ibu membuat rasa kesalnya kembali mencokol. "Cih, asal Kakak tau, baru pertama kali melihatnya saja aku muak. Aku yakin dia hanya memanfaatkan harta Abang. Tampangnya saja sok alim, pasti aslinya jual diri."

Eliza menyeruput latte-nya yang baru diantar beberapa menit lalu dengan tenang. Menatap Alena yang tampak kesal dengan emosi menggebu. "Jangan begitu, Alen. Fathur itu selektif, jadi tidak mungkin asal pilih. Apalagi ini untuk teman hidup, ya biar pun sementara."

Alena mengeryit, tidak mengerti maksud ucapan Eliza.

"Sebenarnya Fathur menikah dengan dia hanya selama beberapa bulan, setengah tahun kalau tidak salah setelahnya mereka bercerai," jelas El.

"Loh? Serius? Aku baru tau."

"Hm, iya. Pernikahan mereka hanya semata agar Fathur tidak dicoret dari keluarga Saddam, sangar-sangar gitu abang kamu masih takut orang tua, loh." Eliza tertawa ringan. Alena mengangguk setuju, ya memang Fathur itu lemah jika sudah di depan Andre, terutama Indah.

Eliza kembali melanjutkan, "Setelah resmi bercerai, entah mendapat restu atau tidak, Fathur bilang akan menikahi Kakak dan menetap di luar negeri."

Mata Alena berbinar. "Wah, jadi begitu, aku kasih restu full deh. Huft ... kalau begitu aku tidak perlu terlalu takut, ah tapi, tetap saja selama menikah nanti aku akan membuat cewek kampungan itu merasa di neraka. Kak El mau bantu, kan? Buat cewek itu sengsara."

Eliza mengentukkan jemarinya di meja dengan ritme pelan dan tersenyum. "Cinta hadir karena biasa, Kakak gak mau nantinya Fathur jatuh cinta dengan perempuan lain selain Kakak. Mungkin kita bisa bekerja sama."

***

"Ih, mereka mana, sih lama banget, " gerutu perempuan yang berada di pojok dengan kesal. Menunggu adalah hal yang membosankan, melelahkan, tapi menunggu dia melamar, lama pun tak apa, asal itu pasti.

Sabar punya batas, kan? Baiklah, jangan salahkan dia jika nanti mengomel seperti orang mencari volume balok.

"Makanya kalau jalan matanya dipake liat, bego!"

T A K D I RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang