14. The Day Before Holiday

3.6K 771 56
                                    

Please vote before or after reading and leave the comment. Thank you for being a part of this story and Borahae💜

.

Terima kasih sudah menjadi pembaca yang jujur. Salam kenal yeorobun💜

.


Tidak pernah ada yang tau atau mungkin peduli ketika aku tidak berada dimanapun.

Hanya professor McGonagall yang peduli karena beliau mungkin merasa bertanggung jawab kepadaku sebagai kepala asrama putri.

Tiap kunjungan orang tua ke sekolah tiba, aku akan menghilang dari pandangan orang-orang. Bersembunyi sendirian sampai esok hari matahari terbit kembali.

Orang tuaku tidak pernah mau datang ke sekolah. Sebagai salah satu pekerja dengan jabatan tinggi di kementrian sihir, mereka terlalu sibuk untuk mengurusi si biang onar ini.

Aku mengintip dari atas gedung, semua wali murid datang terkecuali orang tuaku.

Namjoon dan ibunya, Seokjin dan ayahnya, Hoseok dan kakaknya, Taehyung dan kedua orang tuanya, Jungkook dan seluruh keluarganya, Jimin pun juga Yoongi dan kedua orang tuanya.

Mereka semua datang bersama keluarga masing-masing. Menghadiri acara tahunan sekolah yang diadakan untuk memperlihatkan bagaimana hasil perkembangan putra dan putri mereka.

Dan aku hanya sendirian disini. Menatap dari menara kastil hogwarts sambil duduk pada jendela terbuka dengan kaki yang menjuntai ke bawah. Rasa-rasanya seperti aku ingin membawa tubuhku jatuh dan hancur bersama semua kesedihanku.

Mungkin orang tuaku akan berpikir jika percuma mereka hadir di acara seperti ini. mereka hanya akan mendengarkan petuah-petuah tentang bagaimana kelakuan burukku.


Tidak apa-apa.


Seandainya semua orang tau, dibalik semua kelakuanku, aku hanya ingin bersenang-senang sehingga aku bisa lupa dengan rasa sakit yang seolah-olah menekanku dari hari ke hari.

Aku tidak ingin menangisi hal-hal yng tidak pantas untuk aku tangisi. Tapi jatuh cinta bisa membuat seseorang menjadi lemah. Aku kembali menangis saat melihat Yoongi bersama Suran sementara aku tidak pernah lagi menangis sejak delapan tahun yang lalu.

Bagaimana aku kembali bertahan jika alasan aku tetap berada disini pun menghancurkan harapan itu.

Aku ingin berhenti jatuh cinta. Baik pada orang lain, maupun pada diriku sendiri.


***


Matahari perlahan tenggelam dan langit semakin gelap. Aku tertidur cukup lama di atas sampai aku bisa merasakan sendi dan ototku yang keram karena posisi yang tidak nyaman.

Sambil menguap, aku meregangkan tubuhku saat kudengar suara langkah kaki mendekat ke tempat dimana aku berada. Dengan cepat aku bersembunyi di balik pilar.

Tak berapa lama suara langkah kaki itu tiba. Kulihat ada beberapa orang yang datang. Laki-laki dan perempuan berjumlah satu, dua, tiga? Mereka terlihat tengah memaksa laki-laki yang kini tengah membelakangiku.

Sebenarnya aku tidak mau ikut campur dengan urusan orang lain. Maka lebih baik bagiku untuk cari aman. Aku menyandarkan tubuhku sambil tetap memasang telinga waspada.


"Sudah kubilang aku tidak mau!"


Tunggu sebentar. Sepertinya aku kenal suara ini.


"Ayolah~ aku tau kau juga pasti mau ya kan?"


Ewhh.. apa-apaan suara menjijikan itu?


Lalu setelahnya suara-suara rayuan lain menusuk indra pendengaranku. Sungguh, lama kelamaan aku menjadi muak dengan situasi ini.

Langit sudah gelap total dan aku sekarang lapar. Tapi aku juga tidak mau berurusan dengan mereka. Terlebih suara mereka semakin berisik sekali.


Sial sekali hari ini.








Bruk!



Aku tersentak saat mendengar sesuatu yang jatuh. Refleks aku mengintip dari balik pilar dan melihat lelaki tadi―yang ternyata betul tebakanku bahwa dia adalah Park Jimin, kini sudah terbaring dilantai kayu dengan tiga gadis tadi yang semakin menggila.

Entah kenapa amarahku naik hingga keubun-ubun. Bukan karena Park Jimin yang sepertinya akan dilecehkan. Aku tidak peduli sama sekali. Aku hanya emosi saat melihat mereka sebagai seorang perempuan menjadi bertindak kurang ajar dan seperti merendahkan harga diri seperti ini.

Maka dengan tidak santainya aku keluar dari tempatku tadi dengan berjalan menghentak.

Mereka berempat―termasuk Jimin terkejut melihat keberadaanku disana.

"Sejak kapan kau ada disana?!"

"Sudah dari dua belas jam yang lalu. Tenang, aku tidak akan mengganggu. Silahkan abaikan aku," ucapku sambil berjalan, "tapi jangan salahkan aku jika nanti kepala sekolah sampai tau."


***



"Apa-apaan.." gerutuku sepanjang jalan.

Bodoh sekali aku ini. Meski aku emosi tapi tidak seharusnya aku mengancam begitu.


Dasar mulut kurang ajaaaaaar!



Aku menepuk-nepuk mulutku kesal.

Bagaimana kalau mereka tidak takut? Bagaimana nanti kalau aku tambah di-bully? Atau bagaimana nanti jika Park Jimin akan marah dan kali ini merobek bibirku?!




"Y/n bodooooooooooooh!!" teriakku kesal.

"Baru sadar?"

"Kkamjjagiya!" aku terkejut saat ada suara tepat dibelakangku. Aku buru-buru menoleh dan mendapati seseorang dengan wajah pucat dihadapanku.

Sumber patah hatiku.

"kenapa kau disini?" tanyaku setelah menetralkan debar jantungku karena terkejut dan juga berdetak ngilu.

"mencari Jimin." jawabnya datar dan dingin seperti biasa.

"oh.." jawabku sambil menganggukan kepala mengerti.

Setelahnya hening. Aku pikir dia akan segera pergi mencari Jimin, tapi ternyata ia tetap diam di tempat sambil terus menatapku.

Tunggu, aku tidak sedang besar kepala kan?


"K-kenapa?" aku mulai salah tingkah.

"kau tidak datang tadi." Itu pernyataan. Jadi aku tidak perlu menjawab dan hanya menganggukan kepalaku saja.

Aku tidak kuat, sungguh.

Besok libur dan di hari terakhir di Hogwarts ini kenapa aku harus bertemu dengannya dalam kondisi seperti ini.

Bagaimana bisa aku menata hatiku kembali saat liburan jika yang ia lakukan sekarang hanya akan menambah rasa rinduku padanya.











Dan yang terakhir aku rasakan sebelum sosok itu berlalu adalah sebuah usapan lembut di kepalaku dengan tangan besar itu.

***

To be continued.

Magic Shop • BTS ✔Where stories live. Discover now