AKTARI || 04. Aneh

96 13 13
                                    

             "Wih ... Hero udah datang." Cewek dengan mata sedikit belo itu merinding kala ditatapnya smirk mengerikan dari pria di hadapannya. Menepi setelah mendapat kesempatan, tatapan Tari terpaku pada seorang cowok berhoodie hitam yang berdiri di samping Kawasaki hitam.

Dia tersenyum miring. Merogoh saku mengeluarkan gawai lantas menekan beberapa nomor di sana, dia menempelkan benda pipih pintar pada telinga seolah menyapa seseorang di jauh sana. "Halo."

Dua preman saling pandang, lalu si Hero lanjut berujar, "Iya, di halte depan SMA Pertiwi telah terjadi pelecehan. Pak Polisi bisa datang ke sini segera?"

"Sialan," umpat si preman dengan lirikan tajam lantas beranjak pergi dari sana.

Cowok berhoodie menghampiri kuda besi seraya bergumam, "Dasar bodoh."

Tari masih syok di tempat, menunjukkan ketakutan yang masih kentara. Lalu dirinya tersadar kala sebuah suara menyapa gendang telinga. "Naik."

Tari tak berkutik. Ditatapnya cowok yang sudah terduduk seraya memakai helm full face-nya, Tari sedikit mengerjap saat kata yang sama terucap darinya. "Naik."

"Di mana?"

Dengan tangan yang masih setia memilit tali ransel, Tari sedikit mencondongkan tubuhnya. "Hah?"

"Rumah lo."

Tari ber-oh ria. Lantas menjawab dengan sedikit berteriak. "Di perempatan depan, belok kiri aja. Nanti gue kasih tau lagi."

"Makasih udah nolongin, maaf repotin." Tanpa membuka helm dan mengucap sepatah dua patah kata, motornya sudah melesat dengan pemiliknya.

Tari membalikkan badan. Hendak membuka slot pagar rumah yang tidak terlalu menjulang, dia membatin, Kok, kayak nggak asing, ya?

Lalu tangan itu dibiarkan menggantung saat melintasnya wajah yang sama dengan kalimat yang terngiang setelahnya.

"Lo tau ini tempat umum?"

Meski bukan pengingat wajah yang baik, Tari cukup yakin mereka adalah orang yang sama.

***

"Cewe yang lo bopong waktu itu, siapa, Sa?" Satu menit berlalu, tak ada sahutan. Mata itu kembali terpejam setelah melirik si penanya yang fokus pada layar monitor di hadapannya.

"Gue nanya, elah. Dijawab nggak buat lo rugi juga." Patta gemas. Selama menjadi sahabat Aksara, bisa dihitung dengan jari, kapan Aksara merespon ucapannya atau mengabaikan seperti saat ini.

"Emangnya lo siapa, nanya-nanya hal begituan ke Aksara? Ya, nggak, Sa?" Aksara berdehem. Sedang Patta mencak-mencak karena perkataan Ervan.

Menjadikan ruangan cukup luas dengan cat kombinasi warna biru dongker dan abu-abu sebagai tempat bersantai merupakan kebiasaan tiga orang cowok di sana. Kasur king size telah dikuasai oleh pemilik kamar itu sendiri, Aksara. Sedang Patta dan Ervan sama-sama fokus pada monitor dengan konsol game di masing-masing tangannya.

"Gue heran, deh. Kok tumben banget lo sudi bopong cewek padahal setau gue lo nggak kenal. Biasanya juga, lo anti banget sama yang namanya cewek."

Ervan langsung menyahut di sampingnya. "Karena namanya bukan cewek, Ta. Mungkin aja namanya Inem, Icih, Itoh, Idah, atau apa, lah. Yang pasti bukan cewek. Iya, nggak, Sa?"

Kali kedua, Aksara berdehem.

"Maksud gue tuh ... bodo, ah. Gue kesel ngomong sama lo berdua. Lo, juga, Sa. Diajak ngomong bukannya jawab malah hem-ham-hem-ham mulu. Gue berasa ngomong sama vokalis Sabyan Gambus."

AKTARIWhere stories live. Discover now