Bab 21

32 4 5
                                    

Kita adalah keyakinan. Hilang adalah luka yang paling kutakutkan. Pergi adalah hal yang paling tidak aku inginkan.

***

Happy reading!

***

Matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Namun kedua remaja itu tetap melangkah menuju tujuan mereka. Elena tak khawatir kena marah mamanya marena ia sudah meminta izin. Regan? Tentu saja tidak karena mamanya keadaannya seperti itu.

Suasana semakin dingin saat mereka sampai di kaki gunung. Elena mendongak. Menghela napas. Kakinya sudah lelah dan ia kedinginan.

"Ugh, dingin." bisiknya tertahan. Bahkan asap putih keluar dari mulutnya saat berbicara. Jaket tipis yang ia kenakan ternyata tak cukup membuatnya hangat.

Regan yang melihatnya bergeming, masih ragu melakukan apa yang sekarang ia pikirkan.

"Sebenernya ngapain sih kita ke sini?" tanyanya. Sikapnya berubah hangat semenjak insiden 'teletubies' tadi. Sepertinya ia sudah mulai memercayai Elena sebagai teman.

Elena membalasnya dengan senyuman, "Udah, jangan banyak tanya ah. Kita jalan lagi biar cepet sampai."

Regan menghembuskan napas pelan. Ia tidak masalah dengan tujuan Elena sebenarnya. Ia hanya penasaran, apa yang membuat gadis itu begitu bersemangat menuntunnya kemari bahkan sampai kedinginan dan kelelahan seperti itu?

Di lain soal, memang, Elena sangat bersemangat berjalan mendaki puncak gunung, diikuti Regan di belakangnya yang sesekali menangkap tubuhnya saat ia limbung ataupun tersandung. Dengan kerja keras, akhirnya mereka sampai di puncak gunung itu. Kawah yang sama seperti yang dilihat Elena kemarin kembali menyambutnya. Ia tersenyum lega saat pondok kayu usang itu masih ada di sana.

"Ayo, Re!" Elena berlari terjun ke bawah kawah itu. Membuat Regan meringis karena takut. Tapi nyatanya Elena baik-baik saja, jadi ia memutuskan untuk mengikutinya. Di bawah, ia disodori masker oleh Elena.

"Biar nggak keracunan asap belerang." kata gadis itu yang dibalas anggukan oleh Regan.

Elena memimpin, sambil menyalakan senter karena hari mulai gelap, sesekali ia menunduk, mengeluh karena kakinya penuh lumpur. Lantas melirik Regan, yang saat itu malah menatapnya bingung.

Ish, apaan sih! Ini Regan, bukan Noah. Regan si dingin nggak bakalan ngelakuin hal 'hangat' kaya Noah. Batinnya berbicara.

Mereka berjalan semakin dekat dengan pondok itu. Elena berdebar, apakah tanggapan dari seorang Regan nantinya? Elena melirik Regan takut-takut. Saat matanya bersibobok dengan mata hazel Regan, ia mengalihkan pandangannya.

Mereka berdua diam hingga sampai tepat di muka pondok itu. Elena menahan napas.

"Udah sampai?" tanya Regan. Elena mengangguk.

"Maaf, Re. Tapi apapun yang terjadi lo harus janji nggak bakal marah sama gue ya." Eleba mengacungkan jari kelingkingnya. Regan menyambutnya.

"Emang apaan sih?"

"Lihat aja sendiri, Re. Di dalem." Elena minggir, memberi jalan Regan untuk mengintip apa yang ada di dalam pondok itu. Regan menuruti perkataan Elena. Tubuh tegapnya menunduk untuk memosisikan kepalanya pas pada muka pintu. Matanya memicing, dengam senter, ia menyorot sebuah nisan kayu tua.

Gabriel Montana, 14 April 2007.

Regan membelalak. Reflek, ia bergerak mundur. Matanya membulat sempurna. Keterkejutan mewarnai wajahnya. Ia membisu.

Past, Please! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang