3. I Hate You, Dad

92 7 0
                                    

Besok hari pertama menjadi mahasiswa gastronomi, membuat Alexa bersemangat. Sejak tadi siang dia sudah menyiapkan pakaian yang akan dikenakan esok hari. Sejak Emma kembali ke California kemarin, Alexa sudah mulai bermalam di rumah orangtuanya. Meskipun setiap malam seringkali mendengar pertengkaran kedua orangtuanya, tidak mengubah kebahagiaan gadis itu. Untunglah untuk masuk Universitas Boston dia mendapat beasiswa penuh berkat prestasinya dalam ikut English Debate Competition sewaktu SMA di Jakarta dulu.

Alasan dia memilih jurusan gastronomi karena melihat Pamela yang gemar memberitahu tentang makanan sehat. Selain itu, selama tinggal bersama Pamela di Jakarta, Alexa seringkali diajak bercocok tanam dan mengonsumsi makanan organik. Setidaknya, dia tahu bagaimana cara bercocok tanam yang baik. Oleh karena itu sewaktu Emma mengatakan tentang tetangganya yang bisa menghasilkan uang dari berladang brokoli, Alexa semakin yakin dengan pilihannya.

"Kenapa tidak ambil Matematika saja? Bukankah dulu kau suka sekali dengan Matematika?" tanya Emma saat menyiapkan barang bawaan ke dalam koper. Alexa membantu sahabatnya memasukkan beberapa barang ke dalam koper. Tidak terlalu banyak, hanya beberapa pakaian dan buku yang mereka beli sepulang dari Universitas Boston.

"Sejak pindah ke Jakarta, cara berpikirku berubah. Tante Pamela yang membuat cara pandangku berubah." Alexa membayangkan kebun belakang rumah Pamela yang tidak terlalu luas namun dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Emma hanya mengangguk memahami penjelasan Alexa. Mereka bekerja sama untuk menutup resleting koper yang sulit dirapatkan karena terlalu kepenuhan. "Ada rencana untuk cari pacar?"

Pertanyaan Emma begitu tiba-tiba terdengar oleh Alexa. Bagaimana bisa sahabatnya kepikiran untuk mengingatkan hal itu, bukan mengigatkan untuk fokus dengan studi. "Pertanyaan macam apa itu?" Alexa bergidik geli. Sedikitpun tidak ada pikiran untuk pacaran.

"Nampaknya kau sudah terbawa budaya Indonesia, Alexa." Emma menyentuh pundak Alexa sesaat berpindah ke atas ranjang.

"Aku rasa di manapun sama saja. Sahabatku di sana juga ada yang menanyakan hal sama denganmu." Alexa ikut duduk di atas ranjang.

"Nanti kau akan banyak party. Senior akan mengundangmu untuk party. Aku rasa kau sudah terbiasa dengan itu. Tiga tahun di Indonesia tidak cukup untuk memudarkan darah Amerikamu, Alexa. Kau lahir dan besar di sini. Meskipun kau dibesarkan cenderung ke budaya Jerman, tetapi lingkunganmu Boston." Emma bertopang dagu.

Alexa hanya tersenyum mendengar ucapan Emma. Dia juga mulai tersadar bahwa dirinya kini bukan di Jakarta. Bersikap menjadi gadis baik-baik bukanlah lagi budayanya. Apa jadinya jika dia menolak untuk datang ke acara party. Dari lubuk hatinya pun, rindu untuk berpesta sambil tertawa melupakan masalah hidup yang ada. Namun, dia tetap harus jaga pergaulan agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Dia tidak akan meminum alkohol sebelum menginjak usia 21 seperti yang diperbolehkan oleh negaranya. Kalau tidak, bisa habis oleh Nelson.

Alexa tertawa getir sambil memandangi langit-langit kamar saat mengingat percakapan itu. Ketika mendengar suara Nelson yang membentak Anne, rasanya Alexa ingin keluar dan berulah semaunya, apapun itu yang bertujuan membuat malu Nelson. Selama ini yang dia tahu bahwa Nelson adalah pria yang gila dengan harga diri dan kehormatan, mudah sekali merendahkan orang lain. Ingin membenci orangtuanya sendiri, tetapi apa boleh buat, Alexa masih memikirkan Anne. Satu saja tingkahnya yang salah, Nelson akan menyerang Anne tanpa ampun.

Alexa bertekad dalam dirinya, suatu saat nanti setelah lulus kuliah, dia akan kembali ke Jakarta dan menetap di sana dan meminta Anne untuk berpisah dengan Nelson jika pria itu tidak mengubah sifatnya. Baginya, Anne lebih baik di Jerman bersama Sean, adiknya.

Lamunan Alexa pecah saat mendengar teriakan Anne dari ruang makan. Tanpa berpikir panjang, gadis itu menghambur keluar kamar untuk memastikan ibunya baik-baik saja. Namun, harapan itu sia-sia saat mendapati Nelson tengah menampar ibunya. "Stop, Dad!" pekiknya. Seketika tangan Nelson berhenti. "What are you doing, Dad? She's my mom, your wife." Anne berusaha menghentikan anaknya dengan menyuruhnya kembali ke kamar, namun tidak diindahkan oleh gadis itu. "Every day, every time, every night, you're always angry at Mom, angry at me, at everyone. We're human, Dad, not an animal. You slap my mom every day. Have you ever thought about how I feel, huh?" Alexa meradang. "I hate you, Dad!" Gadis itu berlari kembali ke kamar. Dia menjatuhkan badan di ranjang. "I hate you, Dad!" ucapnya dalam tangis. Dia menenggelamkan wajah.

Dari luar, suara Nelson terdengar lagi. Dia menyalahkan Anne atas sikap Alexa barusan. Inilah alasan gadis itu memilih diam setiap ibunya menjadi bahan pelampiasan amarah Nelson. Bukan karena membiarkan, melainkan jika dia membela ibunya, yang ada Nelson semakin meradang melampiaskannya kepada Anne. Alexa sendiri tidak mengerti alasan ibunya yang memilih bertahan dengan pernikahan yang persetan ini. Gadis itu menangis hingga lelah dan tertidur dalam perasaan kesal.

Keesokan harinya, Alexa sudah siapa dari pagi. Dia menyiapkan sarapan sendiri. Saat tengah membuat scrambled egg, ponsel yang diletakkan di atas meja makan berdering. Dia mengangkat video call itu setelah memindahkan scrambled egg ke atas piring hitam. "Hai!" sapanya kepada seseorang yang juga menyapanya dengan wajah bahagia. Dia menarik kursi makan dan duduk di sana.

"Lagi apa?"

"Sarapan. Di sana jam berapa?" Alexa mendelik jam dinding dan mulai menyantap hidangan sarapannya.

"Jam tujuh malam," jawab orang itu.

"Bar, I miss you." Wajah Alexa mengerut sedih. "Gue berantem sama bokap tadi malam." Dia memulai pembicaraan dengan Barina, sahabatnya di Jakarta. "Dia mukul nyokap gue," lanjutnya.

"Gara-garanya apa?"

"Biasalah, Bar. Tempramen. Emang psikopat tuh orang." Kemarahan Alexa meluruhkan peran Nelson sebagai seorang ayah.

"Hush! Jangan begitu, Lex. Begitu juga dia masih bokap lo." Barina berusaha menenangkan Alexa. Sebenarnya Barina ingin berada di dekat gadis itu dan memeluknya.

"Lo jadi ambil Akuntansi?" Alexa mengalihkan pembicaraan.

"Iya, jadi. Semenjak sampai di sana, lo nggak ada ngabarin gue, Lex. Sibuk, ya."

"Sorry." Alexa menyeringai. Seketika lupa dengan kemarahannya.

"Kemarin gue ke rumah Tante Pamela, habisnya lo nggak ada kabar. Nomor Indonesia lo juga nggak aktif, makanya gue minta ke Tante Pamela," jelas Barina.

Alexa tersenyum sambil menyuapkan scrambled egg terakhir ke mulutnya. "Gue tau kalau lo nggak akan kehabisan akal buat cari informasi gue. Seharusnya lo masuk jurnalis aja, Bar. Cocok buat lo." Alexa meneguk air putih.

"Sial. Resek lo!"

Mereka tertawa geli. Telepon dari Barina menjadi penyelamat untuk Alexa. Sahabatnya itu bisa mengubah suasana hatinya yang suntuk. Setidaknya, dia ingin mengawali hari pertama kuliahnya dengan suka cita, bukan dengan kemarahan.

Usai sarapan, saat merapikan kembali kursi makan, Anne berdiri tak jauh dari meja makan. Mereka beradu tatapan seolah tengah bicara dari hati ke hati. Alexa mendekati Anne. Dipandangi wajah wanita itu lamat-lamat. Gadis itu meraba pipi ibunya yang membiru. Sempat gemetar tangan Alexa saat memegangnya, seperti ada jerit dan tangis di dalam sana. "Aku berangkat dulu," pamitnya seraya memeluk ibunya.

Anne membalas pelukan itu dengan erat. "Take care!" ucapnya disertai dengan senyuman yang menambah energi untuk Alexa.

"I will, Mom. For you." Alexa mengecup pipi ibunya lalu beranjak keluar rumah menuju subway.

------

Terima kasih sudah membaca.

Ladybird (Alexa Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang