14. A Year Then ....

107 11 2
                                    

2008

Alexa lulus community colage dan mendapatkan gelar Associate Degree¹. Beasiswanya hanya berlaku satu tahun. Tahun ini dia wisuda. Rasa bangga dan puas menyertai hatinya. Dia berencana membawa undangan wisuda ke Anne.

Lepas kerja, Alexa pulang ke rumah orangtuanya. Sejak mendapatkan pekerjaan, keluar dari rumah dan memilih untuk tinggal sendiri, dia memutuskan tinggal bersama Ava. Mereka berbagi kamar untuk menghemat pengeluaran. Ava pun dengan senang hati menerima ajakan itu agar tidak sendirian. Hubungan mereka semakin dekat. Sifat Alexa yang supel memudahkannya mendapatkan teman baik.

"I'm home!" Alexa membuka pintu rumah dengan ragu.

Selama perjalanan ke rumah, Alexa membayangkan ekspresi bahagia Anne melihat undangan yang akan diberikannya, karena anaknya bisa menyelesaikan kuliah meskipun community colage. Bayangannya menggambarkan bahwa Anne akan memeluknya dan mereka saling menyalurkan kebahagiaan. Sesederhana itu bayangan kebahagiaan Alexa, setidaknya untuk saat ini. Namun, ketika membuka pintu, bayangan indah itu hilang seketika bagaikan letusan balon di atas kepala. Hilang, terbang, lenyap tanpa bekas. Anne tidak sedang bahagia. Dia berada di bawah tangan Nelson yang semakin menggila. Bisikan setan mulai berkata di telinga Alexa untuk melakukan tindakan kejahatan saat itu juga, membunuh ayahnya sendiri dan mengajak Anne lari dari rumah terkutuk itu. Namun, pada kenyataannya, dia hanya memaku di depan pintu. Undangan wisuda mendarat begitu saja di lantai rumah dan gadis itu langsung mengambil langkah seribu menjauhi rumah terkutuk itu. Dalam pelariannya, dia menangis, meracau dan memaki ayahnya sendiri. Kakinya terus berlari hingga Joe Moakley Park.

Alexa duduk di taman itu sambil menangisi kehidupannya. Dia mengira dengan kuliah menggunakan beasiswa serta bekerja paruh waktu bisa membahagiakan Anne dan melepaskan ibunya dari cengkraman Nelson. Nyatanya, dia salah. Tidak semudah itu Anne lepas dari suaminya. Alexa merenungi nasib di taman yang sepi. Telepon dari James pun diabaikan begitu saja. Dia tidak mengerti kenapa hidupnya begitu menyedihkan.

Di lain tepat, James terus menelepon Alexa, karena dia berencana mengatur jadwal kerja. Pasalnya, Ava berencana untuk kembali ke New York, otomatis jadwal kerja Alexa dan Will berubah. Karena tidak diangkat, James berpikir kemungkinan gadis itu sedang bercengkrama hangat dengan keluarga. Lelaki itu pun berhenti menghubunginya.

Alexa melangkah lunglai mendekati Old Harbor dan duduk di sana. Di tempat ini terekam banyak kenangan. Sewaktu kecil, dia bermain dengan Sean di sini. Kenangan manis itu seketika menarik ujung bibirnya untuk terseyum dan jemarinya menyeka air mata. Tawa mereka seakan berputar di ingatan gadis itu. Namun, senyuman itu tidak berlangsung lama, meredup lagi dan menangis lagi.

Ketika Alexa tengah melamun, teleponnya berdering lagi. Dia merogoh kantung celana dan melirik nama yang tertera di layar ponsel, Ava. "Ya."

'Alexa, di mana kau?' Suara Ava bersemangat.

"Di Boston," jawabnya singkat.

'Iya, aku tahu. Tepatnya di mana?'

Alexa menyapu pandangan. Pikirannya masih kosong. "Entahlah. Ada apa?"

'James dari tadi meneleponmu tapi tidak kau angkat. Aku kira kau kenapa-kenapa.'

"Aku baik-baik saja. Tidak usah khawatir."

'Ya, sudah. Kapan kembali?'

"Ada apa?" Alexa benar-benar sedang malas bertemu mereka. Entahlah.

'Bantu aku beres-beres barang."

Alexa mendengkus. Ujung bibirnya tertarik. "Kau meneleponku untuk meminta tolong? Yang benar saja."

'Aku serius. Kau teman terdekatku. Come on!' Ava sedikit memohon.

"Oke, aku kembali." Alexa bangkit dan membersihkan pakaiannya dari pasir yang menempel saat duduk.

'Aku tunggu.' Ava menutup telepon begitu saja.

Alexa menghela napas panjang kemudian mendongak seraya memejamkan mata. Dia mencoba menenangkan pikiran dengan mendengarkan apapun yang tertangkap oleh kedua telinganya. Mencium apapun yang terhidu oleh penciumannya. Aroma Old Harbor sungguh membuat kenangan manis itu kembali. Saat Alexa membuka mata, kenangan itu kembali menguap ke udara dan lenyap dari pikirannya. Setidaknya, untuk sementara waktu.

Gadis itu berjalan kaki menuju stasiun commuter rail terdekat. Kurang dari satu kilometer dia berjalan kaki menuju stasiun JFK/UMass. Udara musim semi memberi kehangatan untuk tubuhnya meskipun angin masih terasa dingin. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantung sweter. Dalam perjalanan ke stasiun, ponselnya kembali berdering. Hari ini banyak yang membutuhkan gadis itu. Kali ini bukan dari Ava. "Lihat Alexa! Masih ada yang membutuhkanmu," hiburnya pada diri sendiri. "Ada apa?" tanya Alexa langsung saat menerima telepon.

'Kau di mana?' James juga langsung melemparkan pertanyaan.

"Di jalan," jawab Alexa singkat.

'Ke mana.'

"Stasiun."

'Stasiun apa?'

"Kau banyak bertanya, James." Alexa mulai tidak nyaman.

'Kau menjawabnya singkat.'

Alexa memutar bola mata. "JFK/UMass."

'Mau ke mana?' James kembali bertanya.

"Kau bos yang menyebalkan, James."

'Jawab saja!'

"Ke apartemen. Puas?" Langkah Alexa tiba di stasiun. Meski menyebalkan, setidaknya telepon dari James menemani perjalanannya agar tidak bosan.

'Oke. Aku tunggu.' James menutup telepon sepihak sehingga membuat Alexa terdiam.

"Aneh. Ava dan James percis." Gadis itu masuk ke stasiun dan duduk di peron setelah melewati gate. Komuter baru saja pergi sehingga dia harus menunggu jadwal berikutnya. Dalam waktu menunggu, Alexa terbayang wajah ketujuh sahabatnya di Jakarta. Sedang apa mereka? pikirnya. Dia membuka koleksi foto dahulu yang tersimpan di dalam ponsel. Tawa mereka lebar dengan seragam putih abu-abu. Sempat terbesit untuk kembali ke Jakarta dan tinggal dengan Pamela, namun lagi-lagi Anne menjadi pertimbangan gadis itu. Ibunya sungguh memberatkan langkahnya. Kalau dipikir lagi, keberadaanya di sini tidak mempengaruhi apa-apa untuk Anne. Alexa tidak mau tinggal bersama ibunya selama Nelson masih di sana. Bagaimana gadis itu menjaga ibunya? Satu hal yang membuat Alexa meringankan langkah keluar dari rumah adalah karena tidak kuat melihat kekerasan yang kerap dilakukan Nelson kepada Anne. Lebih konyol lagi, Anne tidak mau meninggalkan pria biadab itu.

Alexa pernah bicara dengan Pamela untuk menyerah. Dia ingin pergi dari Boston. Ke mana saja, asal tidak di Boston, apalagi di Plymouth. Namun, Pamela dan nenek-kakeknya di Jerman memohon padanya untuk bertahan sebentar lagi dan mereka pun tidak tahu sampai kapan. Hal ini yang membuat Alexa muak.

Gadis itu sempat terpikir untuk mengadu nasib di New York, ikut bersama Ava setelah wisuda. Dia berencana mencari kerja dan berkuliah kembali di kota besar itu. Namun, pertimbangannya tidak semudah itu. Benar-benar membuat gadis itu gamang.

Komuter berikutnya akan segera tiba. Alexa beranjak dari duduk dan berdiri di peron. Ketika komuter itu membuka pintu, kedua matanya menangkap seseorang yang dikenalnya keluar dari pintu lain. Dia hendak untuk mengejar orang itu dan memastikan, tapi gadis itu bingung. Jika mengejarnya, dia akan ketinggalan komuter lagi dan harus menunggu komuter berikutnya. Semakin lama berada di Plymouth, semakin berat kepalanya untuk mengendalikan kenangan-kenangan yang mencuat.

Pada menit terakhir, gadis itu mengambil langkah seribu membaur masuk ke dalam komuter dan membiarkan orang itu pergi begitu saja. Dari dalam komuter yang bergerak, Alexa memandang punggung orang itu meski dalam hitungan detik saja sudah tidak terlihat. Dia mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang dilihatnya benar. Dia melihat orang itu, seseorang yang menghilang tiba-tiba dari kehidupannya.

Gadis itu duduk dan kembali menyibukkan pikiran dengan pertimbangan-pertimbangan langkah apa yang akan dilakukan. Dia hanya ingin hidup tenang dan bahagia. Bukankah semua berhak bahagia?

------
1. Associate Degree : setara D3

Terima kasih sudah membaca 😉

Ladybird (Alexa Story)Where stories live. Discover now