Bab. 9 Bertemu Calon Mertua

113 8 0
                                    

Hariku semakin berwarna setelah menjalin hubungan dengan Althan. Dia senantiasa membuatku berseri sepanjang waktu. Aku berterima kasih karena Althan mampu membuatku melupakan Mas Hamdan.

Lelaki itu, terkadang juga suka mengingatkanku untuk kembali memercayai takdir Tuhan. Namun, entah, hati masih tertutup. Perlahan sudah mulai menerima takdir yang menimpaku. Hati sudah sedikit mencair, walau belum seutuhnya bisa menjalankan kewajiban agama. Mungkin suatu saat nanti jika aku sudah benar-benar siap. Althan selalu mengingatkanku, jika Tuhan pasti mempunyai rencana yang lebih indah dari yang kutahu.

Aku suka dengan cara Althan menasehati. Dia tak menggurui, meski aku masih belum sepenuhnya bisa menjalankan hal wajib dalam agama. Namun, dia tak pernah memaksa. Biarkan semua berjalan seperti air mengalir.

“Melihatmu sudah nggak menyalahkan takdir aja aku udah bahagia, Cit. Semoga suatu waktu Tuhan membuka pintu hatimu lebih lebar.” Kata-kata Althan selalu terngiang di telinga.

Iya, harusnya aku memang berterima kasih pada Tuhan karena ujian dan cobaan yang bertubi-tubi, membuatku kuat dan tangguh. Sehingga mampu menjadi seperti sekarang ini. Oh, Tuhan ... maafkan segala kesalahanku yang lalu. Yang senantiasa menyalahkan takdir dan kuasa-Mu. Aku sempat membenci-Mu, tak selayaknya berbuat demikian. Aku menyesal. Ampunilah dosaku yang telah lalu. Aku menarik napas panjang.

Jiwa sedikit tentram dan lega. Ikhlas menerima takdir Allah lebih membuat atma tenang. Tak lagi dirundung pilu dan nestapa.

Aku sudah hampir satu minggu tak bertemu Althan. Rindu dalam dada terasa membuncah. Kami hanya berkomunikasi melalui ponsel. Semua itu kulakukan, karena ingin fokus dalam menyusun tesis agar selesai dengan cepat.

Malam ini tampak indah. Aku membuka jendela kamar kost. Bintang bertaburan di angkasa, berkerlap-kerlip menambah suasana cemerlang. Cahaya bulan sabit pun tampak memesona. Tiba-tiba dikagetkan oleh bunyi getar ponsel. Aku membukanya. Mata berbinar ketika membaca nama yang tertera di layar persegi panjang itu.

[Gimana, udah selesai tesisnya?] WA dari Althan.

[Udah. Besok tinggal sidang aja.]

[Cepat istirahat. Supaya besok fresh. Nggak ngantuk dan lancar menghadapi dosen penguji.]

[Beres, Bos. Aku kan pinter.] Sambil memberi emoticon meledek.

[Nggak boleh sombong. Sidang tesis nggak semudah seperti skripsi.]

[Iya. Doakan besok lancar dan nggak gugup, ya.]

[Iya, Sayang.] Dia memberi emoticon cium.

[Dasar mesum.] Kuberi emoticon marah.

[Tapi kamu suka, kan?]

[Nggak!]

[Beneran, nih? Ok, aku tinggal ke Turki lagi nggak masalah, ya?]

[Tinggalin aja kalau berani.]

[Udah, ah, cepet tidur sana.]

[Iya, cerewet!]

[Good night. Have a nice dream, Honey.]

[Good night too.]

Aku langsung mematikan ponsel. Lalu, masuk ke kamar dan mengempaskan tubuh ke ranjang. Menatap langit-langit kamar yang gelap. Perlahan mata pun terpejam.


***

Pagi ini cuaca cerah, tak ada awan sedikit pun di langit. Aktivitas jalanan sudah padat. Lalu lalang kendaraan menambah riuh di jalan raya. Belum lagi suara pedagang asongan yang berteriak menawarkan dagangannya.

Aku bergegas ke halte untuk menunggu bus. Harus cepat agar tak telat. Hari ini jadwal sidang tesis. Aku tegang dan gugup. Tak berapa lama bus datang tepat waktu, segera naik. Bus pun meluncur membelah jalanan kota. Aku melihat ke luar jendela.

Tanpa terasa sampailah bus di halte berikutnya. Setengah berlari menuju kampus. Aku bersyukur karena sampai di ruang sidang sebelum dosen penguji tiba. Aku mengusap dada, napas sedikit tersengal. Lalu, duduk sambil menunggu datangnya dosen.

Tak berapa lama dosen penguji tiba. Aku semakin gugup dan tegang. Menghadapi empat orang dosen penguji itu rasanya seperti mau di eksekusi mati. Keringat dingin keluar di dahi.

Akhirnya sidang dimulai. Ketua komite membuka forum dan memperkenalkan semua anggota, serta menyampaikan tata cara ujian, sistem penilaian dan kriteria kelulusan.

Kemudian, aku mempresentasikan hasil tesis selama kurang lebih 15 menit. Setelah itu diadakan sesi tanya jawab dan kritik saran.

Akhirnya konferensi berjalan dengan lancar. Aku menarik napas panjang menanti keputusan ketua komite. Dada berdebar tak karuan. Jantung berdetak lebih cepat. Gugup.

Takdir(Sudah Terbit)Where stories live. Discover now