SEDEKAH

51 14 7
                                    

Hari ini panas terik. Aku, seperti biasa, menantang terik matahari duduk bersila di depan gerbang pejalan kaki sebuah kampus ternama. Menadahkan mangkuk plastik lusuh sebatas wajah dan menundukkan kepala.

Sejujurnya, aku sudah tidak tahan dengan perih di kulit yang melepuh setiap kali mandi karena terbakar matahari. Aku juga sudah tidak kuat menahan pegal karena harus sabar, duduk tanpa berpindah berjam-jam dengan makan dan minum seadanya. Tetapi, uang yang kuterima dari duduk bersila menadahkan mangkuk seperti itu terkadang lumayan. Tidak jarang, sehari bisa sampai ratusan ribu.

"Lu gimana hari ini?" tanya seorang teman.

"Lumayan, sih. Lu gimana?"

"Apes gua! Tempat gua digarap preman. Bangsat, emang!" keluhnya sambil menyalakan api rokok.

"Terus gimana?" tanyaku seraya melepas ikatan kakiku yang terlipat seharian.

"Ya, biasa lah. Gua selipin di tempat aman," seringainya sambil menepuk-nepuk pantat. Tingkah temanku itu menggelitik juga. Tawa kami tidak tertahan. "Tapi, ya, gitu, deh. Gua kasih sebagian. Kalau enggak, mampus lah!" lanjutnya sambil melemaskan lengannya yang juga terlipat seharian.

"Gila! Pegel banget sumpah," keluhku sambil mengurut-ngurut kaki yang sebelumnya terlipat. Temanku terkekeh sambil terus mengepulkan asap rokok yang baru dibelinya.

"Ngomong-ngomong, anak lu gimana?" tanyanya tiba-tiba.

"Uangnya masih kurang. Harus segera operasi," jawabku yang seketika mengingat anakku yang tergolek lemah di rumah.

Cemara Tunggu (COMPLETED)Where stories live. Discover now