Prolog

8.1K 117 1
                                    


"Aku tidak pernah mencintaimu"

Aku terhenyak. Entah kenapa. Padahal imajiku tentang cinta telah kutahu dengan pasti bahwa tidak ada kata itu tersemat di sana. Di hatinya.

Jika ini adalah kembara maka malam itu adalah palung samudra yang menelan segalanya. Bahtera yang telah kurakit dan kulabuhkan selama ini tenggelam dan menghilang ke perut bumi yang tak berujung.

Malam semakin larut dalam kepekatan. Melarutkan nelangsa yang kukandung. Aku hanyalah punguk yang merindu cinta dari sang Rembulan. Dan kini rembulan yang kudamba telah memudar kilaunya.

"Perjodohan ini sungguh tidak masuk akal..." lanjutnya.

Aku memilih diam. Diam yang lama. Meskipun aku memiliki segudang kata-kata untuk membantahnya. Bukankah cinta itu bukan urusan akal? Melainkan hati?

"Seharusnya kamu sampaikan hal ini bukan kepadaku, tapi kepada orang tuamu lebih dulu." akhirnya hanya jawaban gusar itu yang termuntahkan dari lisanku.

Kuambil selimut dengan kasar, lalu keluar dari kamar setelah membanting pintu.

Kurebahkan tubuhku di atas sofa ruang tengah yang tidak empuk. Kupeluk bantal dan kubiarkan televisi menonton kepedihanku. Seperti yang kerap kulakukan saban malam.

Dia istriku, setidaknya itu yang tertulis di status buku nikahku. Meskipun kini status itu teramat palsu. Tanpa cinta menyertainya. Lantas apalagi yang kupunya?

Kupeluk bantal kursi yang tipis. Kupeluk perih yang menyesakkan dadaku.

Dia telah menjajah hidupku, menanamkan benih cinta yang kusiram setiap hari agar terus tumbuh. Lalu dia menghembuskan badai salju yang menerpa taman cinta yang telah kupelihara, memporakporandanya sebelum sempat kutuai madunya. Dan ini adalah musim salju yang mencekam. Dingin. Tak ada setangkai pun bunga yang mampu bertahan hidup, kecuali dengan susah payah.

======

Rona indah pipinya masih terus menghantui ruang kenangku. Menghantuiku tanpa kuminta. Seperti halnya dirinya. Dia hadir begitu saja, mendatangkan rasa cinta sekaligus pedih. Kepedihan yang tak kuasa kusingkirkan.

Malam itu aku memasuki kamar kami yang tidak dikunci. Istriku nampak tertidur pulas dengan tubuhnya yang bergerak naik turun mengikuti irama nafasnya yang pelan.

Dengan sangat perlahan kurebahkan tubuhku tepat di sebelahnya. Lalu kurangkul tubuhnya dengan lembut.

Selama pernikahan kami, kami tidak memiliki cukup kesempatan untuk melewatkan malam bersama. Dia lebih sering mengunci dirinya sendirian di dalam kamar dan membiarkanku meringkuk di sofa ruang TV.

Memeluknya. Hanya itu hal yang paling mungkin kulakukan jika kami berada di kamar yang sama. Aku tahu aku memiliki batasan. Aku tidak bisa berbuat lebih dari itu. Seringkali aku begitu iri pada anak-anak ABG yang bahkan bisa melakukan apa saja bersama pacarnya.

Sedang aku hanya bisa memeluknya saat dia tertidur pulas. Bahkan dengan begitu perlahan, tidak mengeratkannya. Kuatir pelukanku akan membangunkan tidurnya. Tapi malam ini aku tidak begitu peduli. Entah dia menyadari pelukanku atau tidak. Aku hanya ingin memeluknya.

Aku bahkan tidak bisa mempercayai diriku sendiri mengapa aku begitu mencintainya. Memang ada banyak perempuan yang lalu lalang dalam hidupku. Mereka datang dan pergi hanya untuk mengiba cintaku. Yang kadang kuberikan kadang tidak. Namun, Safira, hanya dialah satu-satunya perempuan dalam hidupku yang kupeluk seperti ini. Yang kucintai sebesar ini.

Sebelum pernikahan kami, hanya satu dua kali aku bertemu dengannya. Para orang tua kamilah yang mengatur segalanya. Keluarga kami yang menjodohkan kami. Namun bukan berarti aku menerima semuanya begitu saja. Aku menyetujui perjodohan itu dengan suka rela. Dengan hati yang lapang dan pikiran yang waras.

Sejak pertama melihatnya aku sudah bertekad untuk belajar mencintainya. Dan aku bisa membuktikan hal itu. Cinta itu bisa dipelajari, bisa ditumbuhkan. Itu yang selalu kuyakini.

Dan ternyata keyakinanku terbukti adanya. Meski hanya untuk diriku, sedangkan dia tidak. Dia mungkin sangat bodoh dalam mempelajari cinta. Tapi setiap hari, aku bersabar akan hal itu. Mendambakan cintanya. Dan setia menantinya.

Salahkah aku jika mendambakan cinta dari istriku sendiri? Tentu tidak salah. Entah dia menganggapku sebagai apa. Bahkan tidak untuk menjadi seorang teman biasa. Aku malah lebih sering menjadi sosok yang invisible di matanya. Aku seolah tidak ada. Ya, itulah yang terjadi. Dia menganggapku tidak ada. Mungkin hal itu dia lakukan sekedar untuk menghilangkan rasa terganggunya akan keberadaanku dalam hidupnya.

Tapi aku menerima anggapan itu. Menjadi sosok yang tidak ada bahkan lebih baik ketimbang dia membenciku. Meskipun aku tidak yakin akan anggapanku sendiri. Apakah ketika dia tidak mencintaiku berarti dia juga membenciku? Entahlah. Aku tidak peduli. Aku hanya akan terus berusaha mencintainya tanpa mengharap balasan apapun dari dirinya. Ya. Kupikir aku adalah pecinta sejati. Cinta tanpa pamrih.

Kata pepatah, "Kau bisa menggiring kuda ke tepi sungai, namun tidak bisa memaksanya untuk minum"

(Bersambung)

Pengantin Perawan (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang