Dua

3.8K 67 0
                                    

Aku memenuhi permintaan Ibu untuk pulang ke kampung selama beberapa hari. Aku sebenarnya rutin pulang setiap setengah tahun, yang sebenarnya bisa dibilang sering untuk ukuran kampung yang terpisah lautan dengan Jakarta. Tapi bagaimanapun tidak ada kata 'cukup sering pulang' karena berpisah dengan Ibu dan adik-adik selalu menjadi hal yang membuatku sedih dan rindu.

Ibu menyambut kedatanganku dengan beragam masakan favoritku yang tidak bisa kutemukan sepadannya di seantero Ibukota Jakarta. Aku melahapnya dengan sangat bahagia. Masakan itu terasa sangat nikmat di lidahku. Bukan hanya karena diramu dengan bumbu yang pas sebagaimana keahlian Ibu, tapi juga karena ada cinta di dalamnya.

Ibu lantas duduk di sebelahku sambil mengusap kepalaku dengan pelan. Aku membiarkannya melakukan itu meskipun rasanya agak risih di usiaku yang telah menuju seperempat abad. Tapi begitulah, setua apapun umurku, aku akan selalu menjadi anak kecil di hadapan Ibu.

"Makan yang lahap ya, Nak. Ibu selalu bayangin kamu di Jakarta gak ada yang urus. Gak ada yang nyiapin makanan. Kasihan kamu, Nak. Capek kerja untuk kami semua. Kalau kamu nanti sudah punya istri, Ibu tentu akan lebih tenang. Ada istri yang bisa mengurusi kamu."kata Ibu sambil terus mengusap kepalaku dengan tangannya yang mulai keriput. Aku kadang lupa, Ibu telah semakin tua.

Aku terenyuh. Betapa Ibu menginginkan kebahagiaan buatku.

"Makasih Bu. Doakan Adit dapat istri yang shalehah ya, Bu..."

"Tentu, Nak. Ibu selalu mendoakan itu. Bukan hanya mendoakan saja, tapi juga mengusahakan. Semoga Safira bisa berjodoh dengan kamu ya, Dit. Dia perempuan shalehah, penghafal Al-Qur'an tentu baik untuk anak-anakmu kelak."

Aku tersenyum, lalu melanjutkan makanan yang kusantap.

"Oh ya. Ibu sudah janjian dengan Safira dan Ummi Abinya. Besok siang kita ketemuan dengan mereka ya. Buat silaturahim sekalian kenalin kamu ke anaknya. Jangan lupa pakai baju yang rapi ya," katanya sambil menepuk pundakku.

Waktu rasanya berlalu terlalu cepat saat berada di kampung. Besok siangnya, aku bersama Ibu mengunjungi rumah keluarga Safira. Mereka nampaknya telah siap menyambut kedatangan kami dengan beberapa toples kue, puding dan teh hangat. Ibu pun mengutarakan maksud kedatangan kami dalam rangka meneruskan upaya perjodohan yang telah direncanakan.

"Nak Adit, ini memang namanya perjodohan. Tapi Nak Adit boleh lihat dulu Safira-nya. Safira juga perlu lihat dulu Nak Adit-nya. Nak Adit boleh mempertimbangkan masak-masak dan punya hak untuk tidak meneruskan kalau ada yang dirasa kurang sreg," kata Ustadzah Rosmiah padaku dengan suara yang lembut dan senyum yang tersungging.

Lalu beberapa saat kemudian dipanggillah Safira untuk menemui kami. Gadis itupun keluar dari sebuah kamar dan menghampiri meja ruang tamu dengan kepala yang tertunduk sehingga membuatku sedikit sulit untuk melihat wajahnya. Jilbab yang panjang menghiasi kepalanya dan gamis yang lebar menutupi tubuhnya dengan sempurna. Pakaiannya indah dan nampaknya dipersiapkan untuk hari-hari penting.

Dia lalu duduk pada sebuah kursi sambil terus menunduk. Aku berusaha mengintip wajahnya, mencari tahu bagaimana rupanya namun rasanya agak sulit, hanya bulu mata lentiknya yang dapat tetap terlihat meskipun sedang menunduk seperti itu.

Nampaknya Ayah Safira melihat gelagatku yang berusaha mengintip wajah anak gadisnya. Diapun lalu berujar dengan lembut pada Safira.

"Safira, Jangan nunduk gitu dong, Nak. Diangkat wajahnya. Sebentar aja kok biar Nak Adit bisa lihat," kata Ustadz Fahruddin sambil tersenyum, "Maklum Nak Adit, anak saya ini gak pernah ketemu sama laki-laki yang bukan muhrim."

Aku tersenyum sambil mengangguk paham. Itu poin yang sangat penting buatku. Gadis pemalu yang terjaga wajahnya dari tatapan lelaki.

Demi menuruti permintaan Ayahnya, Safira pun mengangkat wajahnya dengan pelan. Dan momen beberapa detik itu seolah menyihir mataku. Sungguh, seorang gadis dengan wajah yang sangat indah dan mempesona. Matanya yang indah berpadu dengan bulu mata yang lentik, bibirnya yang tipis dengan senyum setengah tersungging. Serta hidung mancungnya membuatku percaya bahwa benarlah keluarga Ustadz Fahruddin memiliki darah campuran Arab.

Pengantin Perawan (Telah Terbit)Where stories live. Discover now