Satu

1.9K 197 10
                                    


Miranda Avery adalah seorang dokter ahli bedah saraf di rumah sakit umum Montgomery. Miranda merasa bahagia dengan hidup yang dia jalani saat ini, setidaknya itulah yang coba dia katakan kepada dirinya sendiri, karena meskipun dia hidup sebatang kara di Sydney dia tetap tegar berjuang di atas kakinya sendiri setelah begitu banyak masalah yang dia hadapi.

Dalam hidup, suka dan duka berjalan beriringan sama seperti masalah yang datang dan pergi. No one can be happily ever after, because life is not a fairy tale. Miranda pernah dikecewakan dan disakiti. Hingga detik ini dia bahkan masih mengalami depresi yang cukup berat tapi bukannya pergi ke psikiater untuk mendapatkan bantuan, dia justru mengalihkan beban pikirannya dengan bekerja setiap hari tanpa libur.

Terhitung sudah lima bulan sejak Miranda tidak pernah mengambil cuti, dia juga bekerja di akhir pekan dan melakukan apa saja yang bisa dia lakukan di rumah sakit daripada harus sendirian di kamarnya sambil memikirkan pernikahannya yang gagal.

Ya, pernikahan yang gagal. Lima bulan setelah Miranda berpisah dari suaminya yang kaya raya, dia menggunakan kembali nama belakang yang ia dapatkan dari ayahnya, yaitu Avery. Dia akan membunuh rekan atau pasiennya di rumah sakit jika mereka masih memanggilnya dengan sebutan Dokter Lannion. Sekarang Miranda adalah seorang janda-meskopun belum resmi, sebab butuh waktu sekitar enak bulan bagi pengadilan untuk mengabulkan permohonan perceraiannya.

Waktu terasa berjalan sangat lambat sejak hari-hari kelam itu, Miranda pikir dia sudah bangkit dan berhasil melanjutkan hidupnya kembali tapi itu tidak benar sebab yang dia lakukan adalah mengabaikan penderitanya dengan bekerja. Sebagai dokter bedah Miranda pernah melihat hal yang lebih buruk dan menyedihkan daripada masalah yang dia hadapi. Dia pernah mendapatkan pasien yang sekarat di hari pernikahannya, dia pernah merawat seorang gadis kecil yang tidak bisa menjalani kehidupan yang normal seperti anak-anak seusianya karena tumor yang tumbuh di otaknya, dan dia pernah melihat seorang wanita yang mengesampingkan masa muda dan cita-citanya demi mengurus sang ayah yang menderita penyakit stroke.

Oleh karena itu, Miranda merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk mengeluh. Apa yang terjadi dalam hidupnya belum seberapa jika dibandingkan dengan semua penderitaan itu. Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk melanjutkan hidup dan memulai lembaran yang baru, Miranda harus merasa bersyukur dan memanfaatkan kesempatan itu.

Akan tetapi, mental yang terpuruk tidak bisa dianggap enteng. Miranda mungkin tidak menyadarinya, tapi orang-orang di sekitarnya terutama rekan kerjanya sadar bahwa Miranda membutuhkan bantuan psikiater sehingga mereka diam-diam membuat janji temu untuk Miranda dan mengosongkan jadwalnya sampai satu jam ke depan.

Jadi, di sinilah Miranda berada sekarang, duduk bergeming di hadapan Dokter Terryn O'Brien dan diminta untuk memperkenalkan dirinya lebih dalam. Itu bukanlah sekedar perkenalan diri biasa dengan menyebut nama, umur, atau latar belakang keluarga, tapi perkenalan yang berfokus pada masalah apa yang telah terjadi di dalam hidup Miranda sejauh ini.

Sebenarnya Miranda tidak ingin melakukannya, namun atasannya telah memotong gajinya dari atas untuk membayar sepuluh sesi yang akan Miranda lakukan bersama Dokter O'Brien hingga dia pulih.

"Aku tidak gila, Dokter" ucap Miranda.

"Tidak semua orang yang pergi ke Psikiater itu gila Dokter Avery." sahut Dokter O'Brien, "Tarik napasmu dalam-dalam dan buat dirimu merasa nyaman, ini hanyalah perkenalan biasa"

Hell, bagi Miranda ini bukanlah perkenalan biasa, dia seperti duduk di kursi listrik dan diintrogasi sekarang! Tapi mengingat betapa besar gaji yang telah dipotong untuk satu sesi saja membuat Miranda terpaksa harus mencobanya. Dia menarik napasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan dan berkata, "Aku sedang dalam proses perceraian dengan mantan suamiku, Zacharias Lannion" hanya itu yang bisa Miranda ucapkan, dia yakin hal itu juga sudah diketahui oleh Dokter O'Brien dan telah dicantumkan pada profilnya.

"Masalah apa yang membuat kalian berpisah?" tanya wanita itu. Miranda terdiam, dia benci mengingatnya dan tidak ingin membahasnya. Paham dengan apa yang Miranda rasakan Dokter O'Brien lantas berkata, "Kau tahu kau adalah Dokter ahli bedah saraf terbaik di rumah sakit ini"

Ya, Miranda tahu itu.

"Chief Lee ingin kau sembuh demi kariermu Dokter Avery. Masalah yang dipendam adalah bom waktu, kau tidak bisa menduga kapan masaah itu akan meledak tapi begitu dia meledak hidupmu akan hancur. Jadi sebelum hal itu terjadi, kau sebaiknya mengatasinya. Pertemuan kita untuk hari ini sampai di sini saja"

Sepasang alis Miranda terangkat naik melihat Dokter O'Brien menutup catatannya. Sudah selesai? Pikirnya. Aku mengeluarkan tiga ratus dolar untuk tiga puluh menit yang tak berguna?

"Aku tidak bisa membantumu jika kau belum siap jujur dan terbuka kepadaku, Dokter Avery" lanjut Dokter O'Brien seolah dapat membaca isi kepala Miranda.

Menghela napas, Miranda bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan Dokter O'Brien dengan sopan. Sebenarnya dia merasa dongkol karena uangnya terbuang sia-sia, tapi dia paham atasan dan juga rekan-rekannya hanya ingin yang terbaik untuknya. Selain itu, di mata Miranda Dokter O'Brien tidak cukup ahli dalam melakukan pekerjaannya, dia pikir seorang psikiater mampu menembus ke dalam pikiran pasiennya, tapi pada kenyataannya Dokter O'Brien tidak dapat membantu Miranda sampai dia bersedia menyelamatkan dirinya sendiri dari tekanan yang dia alami.

Begitu Miranda keluar dari ruangan Dokter O'Brien dia menemukan Dokter Russell Smith, berdiri menunggunya di depan ruangan dengan dua cup kopi. Russell adalah rekan sekaligus seorang pria yang mengakui secara blak-blakan bahwa dia menyukai Miranda. Dia juga merupakan Dokter ahli bedah saraf di rumah sakit Montgomery, dia pria yang menyenangkan dan bisa dikatakan hubungan mereka lebih dari sekedar teman meski Miranda belum siap membuka hati sepenuhnya untuk Russell Smith.

"Selamat pagi" ucap Russell sambil menyerahkan satu cup kopi kepada Miranda. Tanpa membalas sapaan pagi penuh semangat dari lelaki itu, Miranda mengambil kopinya dan berkata, "Terima kasih" dia berjalan menuju ke lift dan Russell berjalan di sampingnya.

"Bagaimana sesi pertamamu? Menyenangkan?"

"Seperti di neraka" sahut Miranda, "Aku tahu kau juga terlibat dengan yang lain untuk menjebakku melakukan sesi ini"

Sebenarnya Russell lah pencetus ide itu sementara Chief Lee yang mengeksekusi idenya. "Kau membutuhkannya Miranda. Kami semua peduli padamu"

Miranda memutar mata jenuh. Lift terbuka, mereka masuk ke dalam dan menekan tombol lantai dua, lantai di mana ruangan mereka berada. "Dokter O'Brien payah!" Miranda menggerutu.

Russell terkekeh pelan mendengarnya, "Dia hanya melakukan tugasnya Miranda. Pekerjaan Psikiater itu berbeda dengan Dokter bedah, mereka tidak bisa melakukan MRI atau tes lab untuk mengetahui seberapa buruk trauma yang kau alami"

Miranda melirik lelaki yang berdiri di sampingnya dengan tajam, "Kau pikir aku tidak tahu hal itu?!" Russell meringis. Miranda menyerahkan kembali kopi yang sudah dia teguk sebanyak dua kali kepada Russell sambil berkata, "Kopimu pahit" bertepatan dengan itu pintu lift terbuka dan Miranda keluar dari sana dengan wajah jengkelnya.

Russell bergegas mengejarnya, "Hei, tunggu!"

"Pergilah Russell, aku sedang dalam suasana hati yang buruk"

"Bagaimana jika kita makan malam di luar malam ini?"

Langkah Miranda lantas terhenti. Dia berbalik dan menatap Russel dengan mata yang menyipit sementara lelaki itu tersenyum lebar menanti jawabannya. "Kita akan makan malam jika kau berhasil mengisi kembali jadwalku yang kosong sampai satu jam ke depan"

Russell menyeringai, menduga Miranda ingin mengisi jam kosongnya dengan melakukan sesuatu yang nakal. "Kau merayuku ya?"

Miranda memukul dada Russell pelan, "Dasar mesum, bukan itu maksudku! Aku ingin bekerja, sekarang juga, majukan kembali jadwal operasiku yang telah mereka undur"

"Bagaimana aku bisa melakukannya?" tanya Russell, gelagapan. Miranda merebut kembali kopinya dari tangan pria itu dan berkata, "Pikir saja sendiri, kau yang menjebakku ke dalam masalah ini!" dia kemudian melangkah menuju ke ruangannya meninggalkan Russell yang memikirkan cara untuk mengatur ulang jadwal operasinya pagi ini.

- TBC -

Jangan lupa untuk vote dan comment, perhatian dan dukungan sekecil apa pun dari pembaca sangat berarti untuk penulis dalam berkarya!

Remember Us (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang