12. Rahasia

593 100 59
                                    

Adit melihat dua map berukuran sedang berwarna cokelat di hadapannya dengan tatapan pasrah, sebentar-sebentar ia menghela napas lalu berjalan-jalan risau tak jelas di teras belakang rumah. Ia kemudian berhenti berjalan, duduk di kursi kayu jati panjang sambil menatap map cokelat itu lekat-lekat.

Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat provinsi, Adit memegang map cokelat itu dengan kedua tangan yang gemetar. Akan ada 9 mata pelajaran yang di olimpiadekan. Seperti Fisika, Kimia, Matematika, Astronomi, Biologi, Ilmu Kebumian, Informatika, Geografi dan Ekonomi. Tahun ini sekolahnya mengirim perwakilan dalam mata pelajaran Fisika, Kimia, Matematika, Biologi dan Geografi. Adit adalah salah satu anak yang dipilih itu.

Sore tadi Pak Rasyid bilang, bahwa mereka akan berlatih mulai minggu besok setiap pulang sekolah. Selama kurang lebih satu bulan penuh. Sisa satu bulan terakhir digunakan untuk beristirahat dan fokus mengisi latihan soal. Adit merasakan detak jantungnya berdetak lebih kencang lagi berantakan.

Entah mengapa, tiap mengingat kata Kimia ia seperti merindukan seseorang yang jauh di sana. Ada perasaan benci dan cinta yang tercampur menjadi satu. Ia teringat Ibunya sendiri, ya, Adit merindukan Ibunya yang terkenal pintar pelajaran Kimia itu. Buru-Buru Adit beranjak dari duduknya, menaruh map cokelat di atas meja.

Pak Rasyid menambahkan, bahwa OSN akan diadakan selama empat hari. OSN adalah ajang kompetisi dalam bidang sains bagi para siswa pada jenjang SD, SMP dan SMA di Indonesia. Acara ini diselenggarakan sekali dalam setahun di kota yang berbeda-beda.

Kompetisi ini pada akhirnya akan melahirkan anak-anak berprestasi yang akan diikutsertakan pada olimpiade tingkat internasional. Pak Rasyid begitu percaya diri serta yakin, bahwa Adit bisa lulus sampai skala nasional dan internasional. Adit berjalan menuju dapur dan membuka kulkas, mengambil sebotol jus jeruk yang masih segar.

Ini pertama kalinya ia bertemu guru seambisius Pak Rasyid. Dulu, sewaktu ia bersekolah di Bandung. Ia tak pernah bertemu guru macam Pak Rasyid. Tidakkah Pak Rasyid memahami? Adit merasa terbebani dengan segala harapan itu. Pak Rasyid mengingatkannya akan sosok orangtuanya sendiri yang ambisius. Yang terus memapari pikirannya, bahwa, lebih baik mati daripada kalah.

Kedua orangtua Adit amat membenci kekalahan. Dan Adit tidak boleh kalah, jika Adit kalah, orangtuanya pun akan membencinya. Menghancurkan kepercayaan dirinya, mendorongnya lagi lebih keras. Menyuruhnya untuk terus melakukan banyak hal dengan lebih baik lagi, lagi, lagi, dan lagi.

Adit tahu, dunia saat ini benar-benar bergerak dengan pemikiran kompetitif. Hampir dalam segala bidang. Tapi, apakah pemikiran lainnya tidak berguna? Kalau saja Steve Jobs tidak keras kepala dengan penemuannya dulu, sabar ketika diolok-olok dan diledek. Mana ada produk Apple saat ini? Kalau saja Bill Gates tidak fokus dan sibuk melihat keluar karena takut disaingi orang lain, mana ada penemuan besar Microsoft? Kenapa orangtuanya yang notabene jenius itu tak paham? Apa mereka pura-pura bodoh? Tak mau tahu, begitu?

Adit menahan emosi yang tiba-tiba meluap, ia berhenti meremas botol jus jeruk miliknya yang sudah habis ia teguk. Ia kemudian menatap kosong ke arah ruang tamu yang luas dan mewah miliknya. Untuk apa semua ini? Kalau hanya ia seorang diri di sini. Rumah ini, semuanya, memuakkan.

Aikawarazu ano koro ni hanashita 🎶
Yume wo boku wa oi tsuzukete ru yo 🎶
Mou kotoshi kara isogashiku naru yona? 🎶
Demo kawarazu kono basho wa aru kara 🎶

Ponsel Adit berdering, pertanda telepon masuk.

"Wa'alaikumusallam, gue harus ke sana sekarang? Lu di sana sama siapa? Praja? Okay, untunglah kalau lu gak sendiri. Iya, otw, nih, gue."

Adit segera mematikan ponselnya dan berlari kencang ke lantai dua. Lalu ia menuruni tangga lagi dengan setelan sweater hitam juga celana training panjang berwarna senada. Ia mengambil kunci motornya yang tergeletak di atas meja di samping telepon.

SEKOLAH 2017Where stories live. Discover now