II

25.2K 2.7K 100
                                    

Pergelangan tangan Tala sepertinya akan patah jika Taha meremasnya sekuat ini lebih lama lagi.
Tala menahan keinginannya menendang selangkangan Taha yang tidak bernilai karena terlalu sering diobral itu.

"Kau tidak berubah. Masih terkurung oleh dendam dan benci" desis Taha yang langsung menghempas lengan Tala seakan jijik menyentuhnya lebih lama lagi.

Tala melirik sekilas pada pergelangan tangannya yang merah padam.
"Syukurlah kau tahu itu, jadi aku tak perlu repot-repot memberitahumu alasan aku menolak ajakanmu"
Desah Tala yang sekali lagi siap berbalik dan meninggalkan Taha.

"Yang ingin menemuimu adalah bibi Meena. Bukan aku atau ibuku.
Adik dari mamamu itu tidak pernah berhenti menyebut namamu selama tujuh tahun ini. Jadi tidak bisakah kau meluangkan waktumu yang berharga itu sebentar saja untuk menemuinya. Untuk perduli pada satu-satunya orang yang punya hubungan darah denganmu?"
Ketus Taha yang terlihat muak bicara sepanjang itu pada Tala.

Tala tersinggung dan merasa sedang disindir oleh Taha yang tinggal serumah dengan Bibi Meena semenjak tante Yuma menikah dengan papa Tala.
bibi Meena sendiri memang tinggal di rumah tersebut dari awal lagi.
Intinya Taha seperti sedang bilang kalau dia dan ibunya lebih sayang pada bibi Meena dibandingkan Tala pada bibi Meena.

Tala mencoba mengacuhkan kata-kata Taha tapi godaan untuk membalas begitu besar.
Akhinya Tala bicara juga.
"Aku akan menemuinya malam ini"
Jawab Tala yang kembali berbalik tapi terdiam karena Taha yang kembali bicara.

"Kapan? Dimana?" sinis Taha.
"Berjanji di satu tempat, bicara selama satu dua jam? Sebelum akhirnya kau pergi lagi dan tak kembali hingga dia meninggal dan tak pernah berhenti bertanya kapan kau akan menemuinya lagi?" bentak Taha seiring tarikannya pada lengan Tala yang masih terasa sakit.

Tala berdiri berhadap-hadapan dengan Taha.
Napasnya sesak dan matanya berkilat tapi bibirnya masih terkatup rapat.

Taha melepas lengan Tala, mengusap belakang lehernya dan menghembuskan napas kuat.
"Sekarang aku tahu kenapa papamu tidak lagi berusaha dan memohon agar kau pulang. Hatimu terbuat dari batu hingga kau tidak punya perasaan. Dan itu membuatmu terlihat menyedihkan di mataku"
Ejeknya sambil menarik kacamatanya hingga pupilnya yang biru seperti lautan bisa Tala lihat.

Tala mencoba mengendalikan amarahnya.
Beraninya Taha bilang dia tidak punya perasaan, lihat saja bagaimana mata biru Taha terlihat dingin dan membekukan saat menatap Tala pertanda dia sendiri tidak punya perasaan.

"Jangan bicara perasaan denganku. Aku belajar ini semua dari kau dan ibumu" bantah Tala dingin.

Taha tertawa tanpa nada humor ataupun sinar geli di matanya.
"Ya.. Ya.. Aku tahu itu. Aku bahkan sudah bosan mendengar semua kata-kata tuduhan yang keluar dari mulutmu" ledeknya.
"Aku senang punya murid yang pandai sepertimu. Karena kau lebih sukses jadi manusia kejam tak punya perasaan dibanding aku dan ibuku" ejeknya dengan bibir tersenyum miring.

Tala tidak akan meladeni Taha untuk adu mulut.
Percuma saja karena dia akan kalah telak. Taha terlalu pintar dalam segala hal untuk Tala lawan.

Tala kembali bergerak tapi taha menahan bahunya.
"Aku takkan pernah mengecewakan bibi Meena jadi mau tidak mau kau harus ikut denganku, sekalipun aku harus mengikat dan melemparmu ke dalam mobil"
Tekannya.

Tala mundur Agar Taha tidak memegang bahunya lagi.
"Berhenti memaksakan kemauanmu padaku. Aku bukan pekerja atau budakmu.
Aku akan melakukan apa yang sudah kurencanakan.
Aku sudah bilang akan menemuinya sebelum pergi. Dan aku rasa itu sudah cukup" nada suara Tala mulai naik.

Taha merenggut rambut Tala yang langsung panik dan mencoba menyingkirkan tangan Taha yang jahat. Cengkraman Taha memang tidak menyakitkan, lebih terkesan mengendalikan dan menguasai.
Taha terus menarik rambut Tala hingga wajah Tala berada dibawah wajahnya yang menunduk memerhatikan mata Tala.

(Repost) Belitan Di HatiWhere stories live. Discover now