two 💉

189K 31.5K 7K
                                    

Tuhan,
mereka datang di waktu yang tepat.

Ketika aku lelah dengan serangkaian usaha untuk bertahan,
mereka datang menguatkan.

Terimakasih..

Sahabatku,
Ayo kita berjuang bersama!

Ku harap tidak akan ada yang pergi setelah ini.

⊱ ━━━━.⋅ εïз ⋅.━━━━ ⊰

Satu minggu sudah Renjun terbaring di rumah sakit bersama alat-alat yang berusaha menunjang hidupnya, satu minggu pula Jeno dan Jaemin menjalani segala aktivitas berdua.

Selama seminggu ini Jaemin mengunjungi Renjun 4 kali, sedangkan Jeno hanya 2 kali. Tidak sanggup, katanya.

Awalnya Jaemin berniat mengunjungi Renjun setiap hari, tapi Yixing melarang dengan alasan kesehatan pemuda berdarah Korea tersebut. Jaemin tidak boleh kelelahan.

Omong-omong, kemarin Jeno sudah melakukan cuci darah seperti yang tertera pada jadwal rutinnya. Biasanya pula Jeno tidak akan masuk sekolah pada esok harinya, memilih berdiam di rumah untuk menetralkan sakitnya.

Namun kali ini berbeda, Jeno memaksakan masuk sekolah karena Jaemin tidak ada yang menemani, tidak ada yang mengawasi.

Jaemin itu ceroboh, ia bisa terjatuh kapan saja jika bebas dari pengawasan.

Pernah saat itu Renjun dan Jeno tidak masuk sekolah, alhasil Jaemin harus terpejam selama 3 hari di rumah sakit karena terjatuh dari tangga. Darahnya hampir habis karena sulit berhenti.

Sikapnya yang hyperactive membuat pemuda itu begitu ceroboh, tentunya Jeno tidak ingin hal itu terulang kembali. Makanya ia memaksakan untuk masuk meski tubuhnya masih terasa sakit.

“Jeno, aku lapar!” pekik pemuda yang lebih muda.

“Makanya jalannya lebih cepat, kita pulang. Aku sudah ingin beristirahat,” Jaemin mencebik, “Aku tidak ingin makan di rumah,”

“Lalu?”

“Rumah sakit!” Jeno memutar bola matanya, “Rumah sakit itu tempat orang sakit, bukan tempat mengisi perut,”

“Aku tau. Tapi aku ingin makan bersama Renjun,” kurva itu melengkung ke bawah, “Aku rindu Renjun..,”

Jeno menghela napas, “Aku juga,”

“Makanya ayo ke rumah sakit!”

Jeno diam, tidak menggeleng tidak juga mengangguk.

“Jen, ayo,” Jaemin menggoyangkan tangan si penyuka kucing.

“...besok saja, ya?” dahi Jaemin mengerut, “Kenapa?”

Jeno menggeleng, “Tidak apa-apa,”

Jaemin menepuk pelan bahu lebar Jeno, “Renjun pasti merindukanmu, kau jarang sekali menjenguknya. Tidak apa-apa, tidak perlu takut. Bukan kah hal seperti ini sudah sering terjadi?”

Tacenda, Norenmin. [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang