Laki-laki songong

12 0 0
                                    


Barangkali ini adalah pagi tersialku. Sudah hujan, dingin pula. Walau seharusnya aku tahu, pagi dan dingin adalah kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Tidak peduli saat itu hujan atau secerah siang. Tetap saja pagi itu dingin.

Barangkali aku harus kembali ke selimut yang dari tadi menatapku, seolah meledek "ayo ke sini saja" dengan tawaran kehangatan yang tiada dua. Namun apa daya, aku harus meninggalkannya dengan perasaan tidak tega, tidak karuan.

Demi apa pun, aku begini supaya hidupku tak usai. Supaya selimut yang seolah menjadi kawan karib itu tak tertawa terbahak-bahak sambil menjeratku erat.

Ceklek.

Gagang pintu kudorong ke bawah, sepeda kutuntun keluar, dan aku menerobos hujan dan kegelapan. Wah berasa jadi superhero nih aku. Tidak peduli keadaan untuk menyelamatkan. Menyelamatkan diriku sendiri.

Aku mulai menggigil. Mantel yang kupakai terlampau tipis, memang sih air hujan tak bisa menyentuh kulitku, tetapi aroma dinginnya tetap saja menguar ke sekujur tubuhku.

Aku mulai kesal. Ya kali sudah tahunan jalanan ini masih saja gelap. Minim penerangan. Sementara yang lewat ini kan kendaraan-kendaraan besar. Macam truk muatan barang begitu. Kan, aku jadi takut. Walau tadi sudah mengaku superhero, tetap saja rasa takut itu datang. Sekedar datang tanpa ada keinginan berhenti menerjang.

Ketika sampai di tujuan, langsung kustandartkan sepedaku. Lalu menggedor pintu sebuah rumah yang berada di gang kumuh. Mungkin, ini lebih pantas disebut gubuk daripada rumah.

"Chan, woe bangun!!!" teriakku. Tidak peduli yang kulakukan ini bisa membangunkan para tetangga, aku tetap mengulanginya sampai si punya gubuk keluar.

Dan beberapa menit kemudian, sepertinya ada cahaya dari dalam gubuk. Yes! Akhirnya bangun juga nih bangkai cicak.

"Chan! Lama banget sih bukanya?!" sergapku tinggi. Tidak ada sopan-sopannya sama sekali. Yah bodoh amat.

Cowok yang kupanggil Chan itu, yang matanya sipitttttt, yang hidungnya mancung, yang perawakannya cukup memikat, namun giginya yang berantakan dan kulitnya yang hitam dekil menghapus predikat bahwa dia adalah cowok yang patut dikagumi.

Barangkali aku dan Chan dipertemukan karena persamaan nasib. Sama-sama buntung. Atau bisa jadi, Chan lebih buntung. Dia tidak bisa melanjutkan sekolah. Dia hanya melukis dari tempat ke tempat. Dibayar atau tidak dibayar.

"Apa, sih Raaaaaaa." Dia mengerang. Matanya jadi makin tidak kelihatan. "Masih pagi noh, belum ada jam empat juga. Udah main gedor-gedor rumah orang."

Aku tahu, Chan kesal. Aku pun kalau dibeginiin juga pasti kesal. Malahan, bisa jadi lampu depan langsung aku matiin. Biar si pengganggu itu kapok kegelapan. Tetapi untungnya, Chan bukan aku. Dia baik. Dan aku sering memanfaatkan kebaikannya.

Aku diam. Memperhatikan wajah Chan di bawah sinar remang lampu neon lima watt yang usang. Lalu merogoh ponsel dari saku celana training berwarna hijau yang dengkulnya bolong akibat jatuh dari sepeda, "Masa yang kemarin pesen lukisan Sunset in Tokyo tuh," aduku manja. "Semalem chat minta pagi ini juga harus udah selesai."

Chan menatapku, sama sekali tidak ada raut kaget di wajahnya yang kusam.

"Ya kali sempet Chan. Contohnya aja gue belum nyari, trus hari ini gue ada kuis matematika."

Dia mengulet, mendiamkanku.

"Chan, jangan diemin gue gitu dong." Sekali lagi aku keki.

NaranjaWhere stories live. Discover now