Sabar ... Sabar!

32 11 2
                                    

Sabar ... Sabar!

❤ ⊱┄┄┄┄┄┄⊰ ❤


Novel sudah menjadi bagian penting hidupku selama empat tahun terakhir. Hampir 80% rak bukuku diisi oleh novel fiksi remaja, dan sisa 20%-nya adalah novel Metropop. Aku kurang setuju kalau orang-orang berkata bahwa yang diceritakan di novel hanyalah seputar cinta-cintaan. Aku malah banyak mendapatkan pelajaran soal persahabatan dan pahit-manis serta asam-garam kehidupan dari novel-novel yang kubaca, meskipun, yah, harus kuakui sebagian besar kisah yang ditonjolkan adalah tentang percintaan. Tapi, layaknya manusia biasa, kehidupan seorang tokoh di novel tidak mungkin melulu soal pacaran, bukan?

Sebelum aku melantur terlalu jauh, mari kita kembali ke poin yang ingin kusampaikan dari awal. Dari novel-novel yang kubaca, ada dua hal tentang percintaan—atau lebih tepatnya pacaran—yang dapat kuketahui. Pertama, ketika kamu jatuh cinta dengan seseorang, kamu pasti akan merasa seakan-akan terbang ke langit ketujuh. Ibaratnya mungkin jika kamu mendapat nilai 50 pada Try Out Biologi, itu sudah cukup baik untukmu. (Dan setelah kamu kembali waras setelah dimabuk cinta, mungkin kamu akan cengo sendiri melihat angka 50 tertulis di lembar jawaban Try Out-mu.) Kedua, putus cinta itu rasanya seperti kiamat. Dunia seakan runtuh, nilai 98 pada Try Out Fisika tak akan berarti apa-apa, bahkan mungkin berita bahwa sekolah diliburkan secara mendadak tidak akan menarik perhatianmu. (Kecuali jika kamu dan mantanmu bersekolah di sekolah yang sama, yang mana artinya mantanmu tak perlu melihat mata sembab dan hidung merahmu yang disebabkan karena menangisi betapa tragisnya kisah cintamu sepanjang semalaman suntuk.)

Aku selalu mengira pacaran akan sesederhana itu—sesederhana jatuh cinta dan putus cinta. Aku ... melupakan fakta bahwa selama pacaran, tentu saja ada hari-hari yang harus kujalani sebagai pacar seseorang. Yah, maklum. Selama ini, novel-novel yang kubaca sering kali berakhir ketika mereka sudah resmi berpacaran. Yang tadinya kukira pacaran semudah itu berubah 180 derajat setelah aku menjalin hubungan dengan Alva. Bukannya bebanku semakin ringan karena ada Alva, malahan Alva yang sering kali membuat kepalaku rasanya hampir pecah. Misalnya saja semalam, ketika Alva kembali mencobai kesabaranku, yang berbuah kantong mata yang menghitam serta sedikit denyutan di kepalaku sekarang. Oh, juga raut wajahku yang agaknya menyerupai pembunuh bayaran.

"Lo mau sekolah apa mau ngejagal orang, Nya?" tanya Jen dengan wajah ngeri melihat ekspresi pembunuh-berdarah-dingin-ku.

Aku membanting tasku dengan kasar ke tempat dudukku, mendudukkan diri—yang hampir mirip dengan membanting diriku sendiri ke atas kursi—, kemudian meletakkan kepalaku ke atas kedua tanganku yang sudah terlipat rapi di atas meja. Posisi tidur ternyaman di dalam kelas.

"Eh, sebelom lo tidur, pinjem buku Mat, dong! Pak Markus jadi kan quiz hari ini?" oceh Jen sambil mengguncang-guncang badanku.

Aku menghela napasku kasar tanpa mengangkat kepalaku dari posisi nyaman ini. "Cari aja di tas," ujarku malas.

Kalau aku ini memang sejatinya pembunuh bayaran, maka target yang akan kubunuh hari ini—dan mungkin berbulan-bulan sebelumnya—adalah Alva. Kunyuk menyebalkan! Kalian ingat, kan, Sabtu kemarin ia meminjam tugasku yang harus dikumpulkan hari ini? Tugas yang kubuat sepenuh hati, jiwa, dan raga selama tiga hari tiga malam? Semalam, aku—sebagai pacar yang baik, yang mengerti bahwa pacarku yang satu ini kadar pikunnya melebihi nenek moyangku—mengingatkan Alva untuk membawa tugasku ke sekolah hari ini. Mulai dari chat biasa, spam chat, bahkan sampai voice call. Tapi hasilnya nihil. Kunyuk yang satu itu tak menjawab chat-ku sama sekali, bahkan tak mengangkat voice call-ku yang mencapai tujuh panggilan tak terjawab. Aku berani jamin bahwa semalam, si Kunyuk itu bermain game dengan headset sampai larut dan ponselnya ia singkirkan jauh-jauh agar tak mengganggu konsentrasinya. Bah, konsentrasi mbahmu!

Love is a VerbWhere stories live. Discover now