Wejangan Mama

27 5 1
                                    

Wejangan Mama

❤ ⊱┄┄┄┄┄┄⊰ ❤


"Kamu harus sembah sujud bilang makasih ke Banu, tau nggak?" ujarku—setengah tak rela—pada Alva di atas motor.

Banu—seperti yang sudah kuperkenalkan dari awal—adalah yang paling gila dari Tiga Sekawan. Akan tetapi, ide gilanya di sekolah tadi mau tidak mau harus kuakui telah menyelamatkan nyawa Alva dari jiwa pembunuh-berdarah-dingin-ku. Juga, telah menyelamatkan nilai tugasku.

"Kok malah senyum-senyum, sih? Kamu hoki tau, nggak liat tampang aku tadi pagi yang udah kayak pembunuh bayaran kalo kata Jen!"

"Itu kan muka default kamu kalo aku pikunnya lagi kambuh."

PLAK!

"Duh!" Wajah penuh cibiran Alva langsung berganti dengan jidatnya yang berkerut. "Itu tangan apa pentungan baseball, Nya? Nggak sakit apa ngegeplak aku pas pake helm?" tanyanya sembari memandangku dengan alis yang melekuk melalui kaca spion.

"Itu otak apa batu?! Udah tau pikunnya bikin aku pengen ngebunuh orang, masih aja kelupaan sana-sini!" balasku emosi.

Sudah tau jiwa pembunuhku dibangkitkan kalau ia lupa ini-itu, tapi tetap saja ia tak kunjung belajar dari pengalaman! Aku sudah memberikan sebuah buku to-do-list waktu itu, tapi tidak dipakainya. Lupa kalau dia punya buku itu, katanya. Aku sudah menuliskan apa-apa saja yang harus ia lakukan di buku itu, tapi tampaknya layar ponsel lebih menarik untuk ia baca, dan tulisan-tulisanku itu berakhir terabaikan. Masa iya aku harus mengabsen to-do-list-nya melalui chat setiap hari?!

Karena larut dalam pikiranku sendiri, begitu aku sadar, kami ternyata sudah sampai di depan rumahku. Kebetulan, Mama sedang ada di teras. Tampaknya Mama baru selesai menyapu lantai. Belum sempat aku menyapa Mama, Alva sudah teriak duluan.

"Halo, Tante!"

"Eh, ada Alva ... Mau mampir?"

Alva melihat ke arahku. Aku hanya menaikkan kedua alisku dan nyengir. Eh, tunggu. Bukannya aku sedang marah, tadi?

"Boleh, Tante!" sahutnya kemudian.

Ternyata, Alva tak se-tidak-peka itu. Yah, meskipun sensitivitasnya tinggi—tampaknya—hanya untuk hal-hal kecil seperti ini. Well, tidak kecil juga sih, sebenarnya.

"Ya udah, kamu bukain pagernya ya, Nya. Alva parkir agak deket dinding aja, biar motornya nggak kejemur."

Ini bukan kali pertama Alva bertemu Mama. Aku kira reaksi pertama Mama mungkin akan memandangi Alva dari ujung rambut sampai ujung sepatu, kemudian diam-diam membuat penilaian soal cowok yang mengenalkan diri sebagai pacar anaknya—iya, Alva yang memperkenalkan diri sebagai pacarku—dan penilaiannya itu akan ia jadikan Sesi Ibu dan Anak pada malam harinya. Akan tetapi, yang waktu itu kudapati malah Mama yang mengajak Alva masuk ke rumah dengan keramahan Mama yang biasa kutemui ketika Mama menyambut teman-teman lain yang datang ke rumahku untuk kerja kelompok.

Sejujurnya, itu lah yang kuharapkan. Aku tidak mengharapkan sama sekali agar Mama membedakan perlakuannya pada Alva dan perlakuannya pada teman-temanku yang lain. Dulu, alasanku adalah supaya aku tidak risih—dan juga malu—ketika Alva main ke rumah. Sekarang, alasanku bertambah satu: aku tidak dapat membayangkan Alva yang tengil dan pecicilan di sekolah harus menghadapi perlakuan Mama yang kelewat baik—seandainya Mama membedakan perlakuannya pada Alva—lantas kemudian berusaha menjadi cowok kalem yang sama sekali tidak cocok dengan imejnya di mataku.

Love is a VerbWhere stories live. Discover now