Chapter 9: Akhirnya, menyerah.

2.5K 254 22
                                    

Prilly mengusap pipinya yang basah sebelum mengetuk pintu bercat putih itu. Kemudian ia masuk dengan sangat berhati-hati, takut nanti ketahuan Reta dan wanita paruh baya itu menjejalnya dengan berjuta pertanyaan akan keingintahuan. Bukan Prilly ingin menghindar, justru kedatangannya ke sini untuk menenangkan diri.

Perempuan itu langsung masuk ke dalam kamarnya, beruntung saat di bawah tadi ia tidak bertemu Reta, bahkan sekarang di sini tidak menunjukkan adanya orang.

Benar saja, ketika Prilly pergi ke kamar Reta ia tidak mendapatkan siapapun. Mungkin mama sedang pergi ke rumah saudaranya dan lupa mengabari Prilly. Tapi bagus lah, Prilly sangat butuh waktu untuk sendiri memikirkan semuanya.

Sampai berhari-hari ia tetap tinggal, mencari kesibukan yang benar-benar sibuk agar semua permasalahan yang mengganggu pikirannya segera lenyap. Namun tetap saja tidak bisa. Ditambah lagi ia sering bertanya-tanya pada dirinya sendiri, 'Sudah empat hari di sini, tapi Ali nggak datang buat jemput.' Memang ia tidak meminta hal itu, tapi Prilly pikir tidak salah kalau Ali melakukan hal itu dan mencoba membujuknya. Tapi apa? Justru ia dibiarkan.

Huft, dasar perempuan!

Aneh rasanya, Prilly kira setelah ini mereka akan melanjutkan hidup yang jauh lebih indah. Tapi baru sejengkal, mereka terdorong lagi ke dalam jurang. Yang harus mereka lakukan kini cuma harus sabar dan menghadapinya dengan bijak. Prilly saja yang langsung ingin menyerah, padahal Ali mencoba untuk mengutamakannya.

Perkataan Aisa yang sebenarnya terus mencuci otak Prilly, sampai-sampai Prilly merasa dirinya memang tak pantas untuk Ali. Terus terang, Prilly selalu bertanya, 'Apa Ali bahagia sama saya? Atau justru sebaliknya? Dia pasti malu!'

***

Setelah membiarkan Prilly menginap di rumah orang tuanya, Ali rasa cukup untuk Prilly menenangkan diri dan ia akan segera membawanya pulang. Selama lima hari sengaja Ali tak memberi kabar, ia juga sedikit kesal dengan kemauan Prilly yang dengan mudahnya melepas dirinya. Bahkan Ali sempat berpikir bahwa Prilly tidak pernah mencintainya sehingga dengan mudahnya ia ikhlas membiarkan Ali menikah lagi.

Sudah berkali-kali mengetuk pintu, tapi belum ada yang membukanya. Beruntung pintunya tidak dikunci.

Ali segera masuk dan pergi ke kamar mereka dulu. Ketika sampai di sana ia menemukan Prilly sedang mondar-mandir tak jelas dengan daster tidurnya. Tangan kanannya bertolak pinggang, dan dari raut wajahnya terlihat perempuan itu sedang menahan sakit.

"Assalamualaikum.." ucap Ali. Spontan Prilly menoleh dan terkejut mendapatkan Ali tiba-tiba berada di sini.

"Wa--'alaikumsalam." jawab Prilly.

Mata mereka saling bertemu setelah berhari-hari, namun setelah itu Prilly langsung membuang muka dan duduk di tepi ranjang. Ia berusaha menyembunyikan rasa nyeri diperutnya.

"Kamu kenapa?" tanya Ali selembut mungkin.

"Gapapa." jawabnya singkat.

Tanpa permisi, Ali langsung menarik tubuh Prilly untuk bangkit dan ia segera memeluknya.

Prilly memang tak membalas pelukan dari Ali, ia hanya diam menerimanya dan diam-diam pula ia menitikkan air mata. Sejuta kerinduan yang ia pendam langsung pecah menjadi tirta, kalau saja Ali tahu.

"Pulang, yuk!" ajak Ali seraya mengusap kepala Prilly.

"Lusa aja ya, saya masih mau di sini." sahut Prilly.

Suatu Hari NantiWhere stories live. Discover now