2. When I Meet You

1.8K 323 40
                                    

Wednesday

Sara terbangun di atas ranjangnya yang telah dingin, ia tak pernah bisa tidur nyenyak—rasanya ia juga tak butuh tidur—karena setiap kali matanya terpejam, fragmen skenario maut tempo hari terus terulang di dalam kepalanya. Ia hanya berkelana di dunia barunya, dunia tanpa Seokjin. Sesekali bertanya, bagaimanakah keadaan lelaki tersebut di sisi lain? Apakah ia masih bisa berkunjung ke kamarnya untuk mencari tahu? Atau garis batas yang ditabur semesta sudah absolut dan tak mungkin dilanggar?

Sementara dua hari sudah Seokjin hanya terus memandangi awan di langit—awan yang sama dengan yang diperhatikan Sara dari rumahnya—tanpa makan dan banyak bicara dengan ibu juga adiknya. Keluarganya juga tidak repot untuk membuang-buang waktu membujuk Seokjin keluar kamar—dan Seokjin bersyukur akan hal itu karena ia memang hanya butuh waktu, waktu yang sangat lama. Paling-paling ibunya masuk untuk membereskan kamar Seokjin dengan wajah murung, kemudian langsung keluar lagi setelahnya. Seokjin bahkan sudah terbiasa dengan suara derit pintu dan pada kali kesepuluh pada hari itu, ia tak lagi melirik celahnya untuk melihat siapa yang masuk, alih-alih hanya termangu sembari melirik ke luar jendela.

Pada pukul delapan malam, pintunya kembali mengayun. Namun tak seperti yang sudah-sudah, satu derit tersebut tak disusul oleh langkah masuk atau pintu yang tertutup kembali, yang ada cuma hening berkepanjangan. Setelah sekon-sekon yang berlalu, Seokjin akhirnya mengalihkan atensi dari burung yang berpijak sejajar di atas dahan kepada sebuah presensi di ambang pintu. Kemudian membeku—sebagaimana Sara menggenggam erat kenop pintu tanpa sepatah kata pun.

"Sara?" tanya Seokjin bingung. "Apa—bagaimana mungkin ... Ini mimpi? Aku melihatmu dengan darah—"

"Seokjin—"

"Kau hidup?"

Paras Sara dilukis sesuatu yang rumit dijelaskan, seolah seorang anak baru menemukan ayahnya meninggal dan mempertanyakan arti kematian itu pada Sara. Netranya mengerjap sebelum akhirnya ia mengulas senyum lembut. "Tidak, Seokjin. Bagaimana kau dapat melihatku?"

Tiada frasa yang tercipta kembali, alih-alih pada detik berikutnya Seokjin telah bersimpuh, kemudian bersujud di depan kaki Sara. Tangisnya mengoyak langit malam, menjadikan pilu sebagai bintang-bintangnya yang redup. Satu frasa yang sama terus berulang, bersama air mata yang meleleh pula Sara yang membeku di tempat.

"Aku minta maaf. Aku sangat menyesal, Sara. Maafkan aku."

🌕🌗🌑

Blurred LineWhere stories live. Discover now