3. The Other

1.3K 279 21
                                    

Friday

Seokjin hampir saja terlonjak di kerumunan pejalan kaki yang sibuk, untung Sara sigap untuk menyadari air muka mantannya yang bertransisi menjadi kelam dan menyeret mereka berdua untuk menepi. Butuh waktu tiga detik untuk Seokjin akhirnya dapat bernapas dengan tenang kembali, tentu dengan usapan lembut Sara juga kaca etalase yang membantunya bersandar—ya, walaupun bakerdi dalam meliriknya ganas. Seluruh tubuhnya terasa dingin padahal mentari pada pukul empat masih bersinar cerah—demi setan paling mengerikan di bioskop, sutradaranya tidak memetakan aura setan semengerikan kenyataan.

"Seokjin, kau tidak apa-apa?" tanya Sara—masih menggenggam lengan Seokjin lembut. "Apakah ada sesuatu yang kau lihat?"

"Iya—" Baru Seokjin ingin menjelaskan wajah macam apa yang dilihatnya tadi, wanita dengan bibir robek serta tangisan darah dari mata yang tak ada hadir kembali di seberang jalan. Ia meneguk ludah lamban. "Ada sesuatu tadi di persimpangan jalan."

"Perlu minum? Atau ingin sesuatu yang lain?"

Seokjin memijat keningnya perlahan. "Tidak perlu, nanti juga aku akan terbiasa sendiri dengan hal seperti ini. Mereka juga tidak menggangguku atau apa."

"Kau yakin?"

"Tentu."

Kedua ujung bibir Seokjin kembali mengembang walaupun gelisah masih bergelayut di sudut otaknya. Ia menarik jemari Sara untuk melangkah dan menyusuri gedung-gedung bertingkat di Seoul, sedikit demi sedikit kian mendekati kantor yang sudah beberapa bulan Seokjin tempati.

Pun kalau Seokjin pikir permasalahannya berhenti sampai di situ berarti ia salah besar, karena kini kala napasnya kembali stabil, beberapa pasang mat meliriknya tak suka; bingung, seolah ia badut yang beratraksi di tengah jalan. Nyatanya berjalan berdampingan bukan hal mudah. Sudah mendapat gangguan dari alam sebelah, orang-orang di sini juga tidak mengerti kenapa ada manusia yang bicara sendiri di ruang umum. Dari bisikan rendah, Seokjin dapat menemukan ekspresi Sara yang tak nyaman.

"Kamu merasa tak enak dengan gosip orang-orang, ya?" tanya Seokjin telak.

Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Sara malah mengulas senyum dan melempar jawaban normatif. "Pergilah, Seokjin. Kamu memiliki pekerjaan untuk diurus, nanti kita bisa bertemu lagi kalau kamu sudah pulang kerja."

Maunya Seokjin tak mengindahkan, maunya Seokjin berlama-lama di sini untuk mencumbu Sara. Namun ia tahu bahwa tanggung jawabnya lebih besar untuk dunia yang masih dipijaknya, bukan pada jiwa fana yang bahkan tak seharusnya ia jerat lagi. Bersama dengan helaan napas panjang, Seokjin akhirnya mengangguk diirngi dengan kata perpisahan—sementara—yang manis.

"Jaga, dirimu sampai aku kembali, ya." Seokjin menyelipkan helaian rambut Sara ke balik telinganya. "Nanti aku tunggu di rumah."

🌕🌗🌑

Blurred LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang