SHALAT?

14.5K 1.6K 20
                                    

Para anggota Kopassus memang sudah tersebar di beberapa titik rawan untuk melindungi para warga dari teror pasukan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Titik-titik tersebut adalah kawasan pedalaman yang dekat dengan hutan. Seperti lembah Baliem.

Beberapa titik memang cukup dekat dengan perkampungan warga, sehingga bisa sekalian menumpang termasuk di kampung Huguma yang menjadi tujuan Umar dan timnya.

Tahu berapa waktu yang diperlukan untuk sampai di Huguma? Ya, lima jam perjalanan menggunakan kaki. Mana hari sudah mau senja pula.

Dian adalah orang yang sudah mau wafat di dalam kelompok itu.

Mana jalannya pun curam, walaupun mereka disuguhi pemandangan hijau dari perkebunan sayuran yang seperti permadani di sekitar, tapi tetap saja, Dian kalah dengan rasa lelahnya, bahkan dia ditinggal di belakang.

Anehnya dia selaku korban penculikan justru ditinggal di belakang. Jangan tanya kenapa para anggota Kopassus itu santai saja. Jelas saja, mereka tau kalau pun Dian memilih kabur, maka itu akan menyiksa diri sendiri dengan tersesat tak tau arah. Hebat, baru kali ini ada 'penculik' yang sesantai itu.

Okay, Dian semakin kesal. "BISA ENGGAK SIH KITA ISTIRAHAT DULU?!"

Umar berhenti lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Di depan sana ada kali, kami akan shalat Maghrib di pinggir kali sekalian istirahat," ujarnya.

Tumben dia lebih peduli kali ini, pikir Dian. Alhasil sikap berontaknya sedikit hilang sebelum mengekor dengan tubuh lemas.

Sesampai di aliran sungai yang cukup deras, Dian duduk di sebelah Petrus yang berada di atas batu kali sambil memandangi Umar, Tito, Wawan, dan Dipta yang sedang berwudhu di pinggir kali.

"Itu namanya wudhu, kan?"

Petrus mengangguk dengan senyum. "Iyo, kau tahu?"

Gadis berkulit terang di samping Petrus itu mengangguk.

"Kau Muslim?" Petrus curiga.

Dian malah menggeleng. "Bukan. Gue cuma punya temen Muslim aja di kampus, dan gue sering ngeliat mereka kayak gitu. Jadi gue pernah nanya deh.

Petrus cuma ber'oh'ria sambil menyibak rambut Dian yang terbang menerpa wajahnya. Efek angin sore. "Aduhhhh ... Dian? Kau ikat rambut saja!" Pria itu mulai kesal.

Gadis itu langsung memandangnya dengan geram. "Biasa aja kali!" sewotnya, alhasil dia menurut saja.

"Allahu Akbar." Umar jadi Imam. Berdiri di depan dengan menghadap ke arah Barat.

Para pria yang di belakangnya menurut saja ketika berganti ke gerakan rukuk sampai sujud pun demikian.

Sontak Dian melongo. "Itu beneran mereka nurut banget sama si Umar? Eh, bentar deh, mereka enggak digaji lho, tapi setaat itu. Setau gue, karyawan Papa yang digaji mahal aja belum tentu taat sama atasan, bahkan suka gosipin atasan. Hebat. Gue baru tau kalau shalat bisa bikin orang taat sama atasannya," batinnya.

Tak lama dia kembali menoleh ke arah pria di sampingnya. "Pak Petrus? Apa mereka ... selalu usaha untuk shalat?"

Petrus mengangguk. "Iyo, selalu. Saya beberapa kali dapat tugas dengan Danki dan prajurit Muslim yang lain, dan mereka tidak pernah tinggal shalat bahkan di hutan, pas hujan juga selalu shalat."

Dian termenung.

Sejujurnya dia tidak pernah mengenal dengan baik nama Tuhan dalam hidupnya, karena terlahir dari keluarga pengusaha dan yang dipelajarinya hanya tentang bagaimana taktik bisnis, dan sukses dalam finansial di usia muda.

"Apa Pak Petrus pernah nanya, kenapa mereka selalu shalat?" Dian jadi ingin tahu. "Maksudnya, mereka hampir selalu melakukan shalat dalam beberapa kali dalam sehari, apa enggak capek?"

Petrus tersenyum sambil menatap ke depan. "Ya, pernah. Jawaban teman saya, shalat itu cara Muslim berkomunikasi dengan Tuhan-nya, menautkan hati mereka selalu, dan untuk selalu ingat serta terhubung pada Sang Pencipta. Mereka menyadari bahwa mereka lemah, mereka butuh untuk bersandar pada Tuhan, dan shalat adalah pembeda antara yang Muslim dan non-Muslim," jelas Petrus.

Seketika Dian takjub, saat ada banyak hal yang bisa mereka pikirkan dalam sehari, dan para Muslim selalu berusaha untuk mengingat Tuhan-nya.

"Itu juga yang buat saya kadang marah dengan Muslim yang tidak shalat, seperti dari kalangan warga sipil atau keluarga saya yang di Papua tapi memeluk agama Islam. Karena saya tau, susah sekali tetap menunaikan shalat bagi tentara saat ada di medan tugas, tapi Danki dan teman-teman tetap berusaha untuk menghadap Tuhan-nya saat itu. Yang ada di pikiran saya adalah kagum, karena mereka sangat berprinsip dan betul-betul mengutamakan kewajiban mereka terhadap Tuhan di atas segala-galanya," lanjut Petrus.

Hati Dian menghangat mendengarnya. Entah kenapa mendadak gadis itu jadi penasaran pada sosok Umar yang sedang mengimami shalat itu.

Umar baru saja merapikan sajadahnya dan kembali memasukan benda itu ke dalam ransel, sebelum tak sengaja menoleh mendapati Dian yang melangkah mendekat.

Cepat-cepat dia menoleh ke arah lain, lagi-lagi pura-pura mengamati alam sekitar.

Dian berhenti sekitar satu meter. "Ekhem? Taat pada atasan itu berlaku juga ya dalam shalat?

Ekspresi pria dengan tahi lalat kecil di dahi kanan itu justru heran. "Maksud kamu? Saya tidak paham."

Dian melipat tangan di dada dengan ekspresi sok cuek. "Ya, maksud gue, mereka kok mau-maunya ikutin gerakan lo, mau-maunya berdiri di belakang lo lama-lama. Itu kan aneh." Nadanya sinis.

Umar tak dapat menahan senyum. "Saya tidak membayar mereka, tapi Muslim harus taat pada imam yang diangkat. Mereka bukan taat pada aturan saya, tapi mereka taat pada aturan Allah 'Azza wa Jalla. Tuhan kami yang memerintahkan hal tersebut agar taat pada imam dalam shalat."

"Sama seperti kami menaati pemimpin negara dalam hal-hal yang baik. Muslim diajari untuk menaati pemimpin yang mereka angkat. Filosofi yang harus kamu pahami, ketika dalam shalat imam melakukan kesalahan atau sedikit kelalaian, ada cara-cara tersendiri yang dilakukan untuk mengingatkan imam, bukan menarik kerah baju imam untuk mundur apalagi membeberkan aib imam di Masjid lain. Muslim tidak seperti itu," lanjutnya.

Deg

Dian tau, itu menjurus kepada aksi demonya.

Be The New (Tamat)Where stories live. Discover now