MULIA

12.5K 1.4K 53
                                    

Semenjak peristiwa itu Dian agak lunak, tapi dia juga tidak bisa secara total menganggap para TNI sebagai teman, karena sebagaian dari dirinya masih belum rela.

"Kapten?" panggil Dian yang baru keluar dari honai pagi-pagi buta.

Tidak ada tanda-tanda Umar dan anggotanya. Mereka sudah pergi lagi, pikirnya.

Mendadak perasaan sepi mulai menghampirinya.

Perlahan dia bersandar di dinding honai sambil memeluk lutut dan tubuhnya yang masih agak kedinginan.

Entah kenapa sejak kejadian kemarin, dia menjadi ingin lebih dekat dan mengenal sosok Umar Alib Arselan. Ingin direspon saat dia bicara, ingin didekati, ingin Umar berlaku lebih dari sikapnya yang selalu terkesan menjauh itu.

"Apa dia pernah mikir soal ... perempuan? Maybe yes, maybe no!" Bibirnya manyun. Baru kali ini dia merasa putus asa.

Tak jauh dari sana Tito sudah muncul. "Lho, Dian? Hari ini sekolah libur, kan?"

Dian mendongkak dan mengangguk saja dengan wajah lesu. "Kapten Umar, dimana?"

Tito tersenyum jahil. "Kenapa mencari, Danki? Ada sesuatu, ya?"

Dian langsung kesal. "Ihhhhhhh, kasitau aja dimana, Kapten?!"

Sejenak pria di hadapannya itu tertawa pelan. "Ayo ikut! Danki sedang di pinggir kali."

Dian mengekor saja tanpa banyak tanya, apa yang sedang dilakukan Umar disana.

Dan benar saja, gadis itu cengo begitu mengamati banyak penduduk desa yang sudah berkumpul di pinggir kali. Para wanita juga sudah membawa tumpukan kayu bakar dan sayuran serta bahan pangan lainnya menggunakan noken, tas tradisional masyarakat Papua yang terbuat dari serat kulit kayu yang cara membawanya dengan digantung di dahi mereka.

Wawan dan Dipta pun masih sempat-sempatnya bermain bola dengan anak-anak sambil tertawa.

Seketika manik hitam Dian mencari-cari keberadaan Umar yang ternyata sedang bersama dengan Petrus untuk berbincang dengan Felix, dan beberapa pria paruh baya penduduk kampung huguma.

Telunjuk pria itu menunjuk-nunjuk ke arah kali sambil sibuk menjelaskan sesuatu dengan ekspresi serius. Entah apa yang dibicarakannya.

Dian menoleh ke arah Tito. "Pak Tito? Ini mau ngapain?" tanyanya heran.

Tito menoleh sambil tersenyum. "Kemarin kami sudah rapat dengan kepala kampung dan warga untuk membuat jembatan."

Dian termenung sebentar sebelum memandang ke depan. "Jembatan? Gue bahkan enggak kepikiran sampai disitu."

"Apa kalian sering lakuin hal kayak gini?" Mendadak Dian penasaran.

Sejenak Tito tertawa. "Ya, benar. Kalau ditugaskan di pedalaman."

Dian masih belum yakin. "Masa? Enggak ada fotonya tuh."

Tito malah kembali tertawa sebentar. "Kami ini tentara, bukan artis yang harus mengangkat kamera saat melakukan sedikit perbuatan baik. Bukan gaya kami!" tegasnya.

"Lagipula untuk memamerkan foto kegiatan-kegiatan yang kita lalui, secara pribadi saya sendiri menganggap, sosmed sudah membuat orang lain ketergantungan untuk menggantungkan kebahagiaan mereka dari foto yang mereka upload. Saat mereka dalam suatu kondisi, mereka menguploadnya dan membagikan foto mereka, seakan-akan mereka butuh pengakuan orang lain untuk disebut bahagia."

Dian tersentak.

Tak lama mereka mendekat ke arah kali, dan para anak kecil langsung heboh begitu melihat Dian yang baru bergabung.

Be The New (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang