Bagian 10

81.2K 5.4K 57
                                    

“Ma, apa keputusan pernikahan ini menurut Mama sudah benar?” tanya Nafla pada malam hari saat mereka baru saja menyelesaikan makan malamnya.

Sandra menatap putrinya bingung. “Memang kenapa? Kamu ragu?”

“Iya, Ma. Apalagi masa lalu Pak Asgaf yang masih berkeliaran diluar sana. Nafla jadi takut sendiri.”

Meletakkan piring bersihnya, Sandra memilih duduk di sebelah Nafla. Wanita paruh baya itu tersenyum. “Kamu jangan prasangka buruk gitu deh. Mama yakin Asgaf adalah orang yang menjaga amanahnya. Jadi, percayakan semua padanya, ya?”

“Tapi, Ma...”

“Sayang, setiap ketentuan jodoh itu Allah-lah yang mengatur. Mungkin memang sudah rencana-Nya mempertemukan Asgaf dengan Rena sebelum akhirnya ketemu kamu. Mungkin juga itu adalah cara Allah mendewasakan Asgaf dengan pengalaman pahit yang pernah dilaluinya,” gumam Sandra seraya tersenyum. “Dan ketika bersamamu nanti, Asgaf lebih tahu caranya mendekati dan memanjakan seorang perempuan.”

Nafla terdiam. Semoga saja itu benar. Tapi, bagian memanjakan Nafla agak ragu mengingat betapa kerasnya laki-laki itu membiarkannya memasak dan menggosok. Bahkan, Asgaf memintanya untuk di rumah daripada bekerja sebagai guru yang telah menjadi cita-citanya selama ini.

“Percayalah, Sayang... Mama yakin Asgaf akan menjagamu sebaik mungkin. Bahkan, lebih baik daripada saat Papamu menjagamu,” gumamnya pelan saat mengingat sang suami yang telah menceraikannya karena perselingkuhan.

Nafla menunduk sedih saat mengingat sang ayah. Ia tidak pernah mendapatkan perhatian ayahnya itu sama sekali karena memang ayahnya jarang pulang ke rumah dan sibuk bekerja. Sampai suatu hari, Nafla mendengar bahwa ayahnya memiliki wanita lain yang membuatnya semakin membenci sang ayah. Bahkan, ayahnya diam-diam memiliki anak dengan wanita itu.

Kisah yang miris untuk diceritakan karena Nafla tidak benar-benar mengenal sosok ayahnya.

Tapi, satu yang Nafla tahu bahwa ia bukanlah anak tunggal. Ia memiliki saudara kandung yang sama sekali tidak pernah Nafla kenal. Ia hanya bisa melihat sosok saudaranya itu dari album-album lama keluarganya.

Dan Nafla tahu, bertanya tentang sang kakak hanya akan membuat ibunya bertambah sedih. Sehingga ia memutuskan untuk segera tidur.

●●●

Pak Rizal DP 2

Jumpain saya di lab jam 11 ya.

Nafla membaca pesan dari dosen pembimbing keduanya. Melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, Nafla masih memiliki waktu sekitar 45 menit lagi untuk berjumpa dengan Pak Rizal. Ia mengambil semua berkas yang diperlukan. Berniat cepat-cepat menyelesaikan segala urusan yang ada agar Nafla bisa kembali berbaring di kasur empuknya.

Nafla meminta diantar oleh Pak Sardi yang sedang mengelap kaca depan mobil. Tampaknya, Pak Sardi langsung pulang setelah mengantar ibunya ke kantor.

Jalan dari rumahnya menuju kampus hanya memakan waktu lebih kurang 20 menit. Sehingga Nafla masih bisa mempersiapkan diri sebelum bertemu Pak Rizal. “Perlu di tunggu, Non?”

Nafla menggeleng pelan. “Nggak perlu, Pak. Saya pulang sendiri saja.”

“Ya sudah, kalau ada apa-apa hubungi saya aja ya, Non.”

Nafla mengangguk mantap. “Siap, Pak. Assalammu’alaikum,” pamitnya lalu melambaikan tangan dan segera masuk ke dalam kampus.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Pak Sardi pelan sambil menggelengkan kepalanya sebelum melajukan kembali mobilnya.

Nafla menatap prodi yang tampak kosong tidak ada orang, kecuali Kak Frida. Nafla segera mendekat dan mengetuk kaca agar Kak Frida membukanya.

“Kak, aku mau nanya... Untuk sidang apa-apa saja syaratnya?”

Why?Where stories live. Discover now