Part 3

88 43 32
                                    

Langkah kakinya lunglai, ia tampak lelah. Malam sudah begitu larut, namun ia masih saja mengenakan seragam sekolahnya. Gadis itu membuka pintu coklat rumahnya menggunakan kunci cadangan yang ia simpan. Lampu di ruang utama sudah padam, bagaimana tidak, ini sudah pukul 2 malam.

Fannya berjalan pelan, tak ingin menciptakan suara berisik yang dapat mengganggu tidur ibunya. Ruangan itu begitu gelap, ia hanya menggunakan senter HP sebagai penerangnya.

Tiba-tiba lampu menyala begitu saja membuat Fannya terkejut. Ternyata ibu sudah berdiri di dekat sakelar.

"Kok jam segini baru pulang Nya?" tanya ibu, raut wajahnya khawatir.

Tapi pandangan Fannya justru beralih ke bagian tangan kiri ibunya, "Tangan ibu kenapa?" tanyanya sambil mendekat ke arah ibu, dan melihat lekat-lekat bekas luka tersebut.

"Kena air panas," jawab ibu sambil menarik tangannya, "Kamu habis dari mana?" tanya ibunya lagi, kembali ke topik awal.

"Anya tadi main ke rumah Luna," jawabnya jujur.

Fannya merasa ada yang ganjil dari ucapan ibunya tadi, ia tak percaya bahwa luka itu akibat air panas. "Ibu nggak boong kan sama Anya? Ibu dipukulin lagi sama Yanto?" ujar Fannya amat geram. Ibu tak menjawab, ia hanya menggeleng lemah. Tapi Fannya tetap ragu dan tak percaya.

Ia kemudian mengambil ancang-ancang untuk melangkah ke kamar ibunya. Pintu kamar itu tertutup, tapi tak terkunci. Amarah Fannya kali ini benar-benar memuncak, ibu sudah berusaha mencegahnya tapi percuma. Fannya menendang dengan kuat pintu tersebut hingga terbuka.

"YANTO," teriak Fannya yang disertai suara bising akibat pintu yang ia tendang.

Di kamar itu ada Yanto yang tengah tidur pulas. Fannya tak sudi membiarkan pria itu enak-enaknya istirahat di kasur, sedangkan ibu tidur di lantai.

"BANGUN LO YANTO," teriak Fannya lagi. Kali ini teriakan Fannya membuat Yanto membuka mata.

"Udah Nya, udah, ayuk keluar," kata ibu membujuk Fannya agar keluar. Ia tak ingin Fannya terluka karena Yanto. Tapi Fannya tak menghiraukannya, ia tetap berdiri di sana, ingin meluapkan semua kekesalannya.

"Eh, lo jadi anak nggak ada sopan-sopannya ya,"

Plak

Tangan pria itu kini mendarat tepat di pipi Fannya. Perih. Tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Mungkin air matanya sudah habis karena setiap hari menangis melihat ibunya tersakiti. Atau mungkin air mata sudah bosan jatuh karena orang yang sama. Entahlah.

Plak

Fannya balik menampar Yanto, "LO YANG NGGAK SOPAN ANJENG. BERANI-BERANINYA LO MUKULIN IBU GUE," Fannya berteriak. Tangan mulusnya kini ia layangkan ke pipi Yanto. Fannya sangat geram, amarahnya tak tertahan.

"Berani main tangan lo ya," ujar Yanto penuh emosi.

Plak

Kali ini bukan lagi tangan, tapi kaki. Ya, Yanto menendang pergelangan kaki Fannya hingga membuat Fannya terhuyung dan terjatuh. Yanto tak puas, ia kembali menendang kaki Fannya yang sudah tak bertenaga.

"Udah Mas, udah," ibu menangis tersedu, ia menarik tangan Yanto agar behenti menyakiti Fannya. Tapi Yanto justru mendorongnya hingga ikut terjatuh di samping Fannya.

Pria kejam itu kini melangkah pergi keluar rumah entah kemana, yang pasti Fannya berharap Yanto tak kembali lagi.

Fannya benar-benar lelah dengan semua ini. Hidupnya penuh kepiluan yang tak ada ujungnya. Tinggal bertahun-tahun bersama Yanto yang penuh kekerasan, membuat ia memiliki persepsi buruk tentang pria. Ia beranggapan bahwa semua pria itu kasar dan tanpa kasih sayang. Hal inilah yang membuat ia menutup diri, bahkan menutup hati dari makhluk bernama pria.

Gravitasi HatiWhere stories live. Discover now