Part 5

108 35 22
                                    

Fannya, gadis itu kini tengah berlari tergesa-gesa menuju gerbang sekolah yang kini sudah tertutup. Ia lagi-lagi bangun kesiangan dengan alasan yang masih sama, karena tidak tidur semalaman. Gadis itu kini tampak meringis, lalu kembali berlari ke arah belakang sekolah. Tanpa pikir panjang, ia memanjat pagar belakang sekolah yang tidak terlalu tinggi itu. Dan hap, ia berhasil masuk area sekolah dengan memanjat pagar lalu melompatinya.

Ia berlari kecil sambil sesekali merapikan seragamnya. Tapi sepertinya ia melupakan satu hal, bahwa hari ini adalah hari senin, hari dimana seluruh siswa melakukan upacara bendera dan menghindari untuk mencari masalah pada hari ini. Entah apa yang ada di pikirannya, ia justru berbalik arah dan mulai berlari. Ia menuju tangga yang ada di dekat kantin lalu menaikinya dengan langkah yang cukup besar.

Dan di sinilah Fannya kini berada, atap sekolah, tempat yang menjadi favoritnya semenjak bersekolah di sini. Hanya di sini ia merasa aman, jauh dari keributan, dan jauh dari hiruk-pikuknya kehidupan.

Fannya lalu duduk di sebuah meja tua yang sudah reot, tapi masih kuat untuk diduduki oleh gadis berbadan mungil sepertinya. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tas, lalu mengambil satu dan menyesapnya. Kini ia tampak menikmati tiap aroma rokok yang ia hembuskan, seperti inilah definisi ketenangan baginya. Tak ada yang lebih indah dari pada duduk di ketinggian sambil menghisap segulung nikotin.

Krakk

Fannya reflek menoleh ke asal suara, ia benci semua hal yang mengganggu ketenangannya. Dan di sana, ia mendapati seorang pria tengah menginjak sebuah botol minuman, dan pria itu adalah orng yang beberapa hari lalu mulai mengusik hidupnya.

"Lo ngerokok?" tanya Vano, pria yang menghancurkan ketenangan Fannya.

Fannya yang ditanya hanya bergeming sambil menatap tajam ke arah Vano, ia membuang sisa rokoknya yang hampir habis lalu menginjak apinya yang masih sedikit menyala. Gadis dingin itu benar-benar tak berniat mengeluarkan suara, ia memilih turun dari rooftop dan melewati Vano dari pada harus menjawab pertanyaannya.

Tapi Vano justru mencekal tangan Fannya yang berlalu di sampingnya. Vano hanya mendapat tatapan tajam dari Fannya yang seolah berkata lepaskan.!

"Upacara belum selesai, kalo lo turun, gue jamin lo bakal kena hukum," terang Vano yang masih memegang sebelah tangan Fannya.

Vano lagi-lagi tak mendapat jawaban, bahkan Fannya menarik paksa tangannya dari Vano. Tapi kali ini Fannya sepertinya mendengarkan ucapan Vano, ia tetap berada di rooftop, dan tidak turun ke bawah.

"Kok lo ngehindar terus dari gue? Padahal semua cewek pengen banget deket sama gue, karena gue ini ganteng," pria tengil itu tak berhenti menganggap dirinya sempurna.

"Karena gue bukan mereka." Fannya menyahutinya singkat. Ia kembali menuju posisinya semula, duduk di atas meja tua milik sekolah yang tidak lagi dipakai.

Vano yang menyaksikannya, turut melakukan hal yang sama. Ia mengikuti langkah Fannya dari belakang, tapi ia memilih duduk di lantai rooftop dekat meja tanpa alas daripada duduk di atas meja tua itu.

"Lo tau kenapa gue nggak mau duduk di samping lo?" tanyanya sambil menatap ke arah Fannya, namun gadis itu kembali tak menyahut.

"Oke, lo diem, itu berarti lo nggak tau. Alasannya adalah, meja itu lapuk, kalo gue duduk di sana pasti patah, dan lo bakal jatuh. Begitupun dengan hati, kalo lo lagi rapuh jangan cari pelampiasan itu hanya membuat lo patah," ucapnya dramatis sambil memandang ke arah bangunan-bangunan pencakar langit yang tingginya menjulang.

"Kenapa nggak ngerokok lagi?" tanya Vano, ia tak bosan mengajukan pertanyaan meskipun tak dihiraukan oleh Fannya.

"Karena ada lo," jawab Fannya singkat, "ngapain di sini?" akhirnya satu pertanyaan keluar dari mulut Fannya.

"Bokap gue yang punya sekolah ini, dan gue ditugasin untuk meninjau keadaan sekolah," jelasnya.

"Hmm," respon dari Fannya terkadang membuat Vano jengkel.

"Lo nggak takut gitu sama gue? Gue anaknya yang punya sekolah loh, gue bisa aja hukum lo karena bolos dan merokok di atap sekolah," Vano mulai jengah dengan reaksi Fannya yang sangat datar, tapi ucapannya ini tak sepenuhnya akan ia lakukan.

"Ya udah kalo mau hukum gue, udah sering kok, sekalian diberhentiin juga nggak papa," jawab Fannya dingin. Tak sedikitpun ia merasa takut atau cemas, toh ia sebenarnya malas untuk sekolah.

"Baperan amat sih, gue becanda kali," Vano sedikit tertawa mendengar respon Fannya, ia mengira ucapan gadis itu hanya sebatas lelucon yang dibuat serius.

Fannya tak lagi menyahuti ucapan Vano, ia melirik ke arah arloji yang melingkari pergalangan tangan kirinya. Di sana telah menunjukkan pukul 08.21, dan sudah dipastikan upacara bendera telah selesai. Tanpa menimbulkan banyak suara, Fannya berdiri dari duduknya sambil membersihkan roknya yang sedikit kotor.

"Lo mau turun?" tanya Vano yang telah menyadari gerak-gerik Fannya.

"Ya,"

"Makan nih, buat ilangin bau rokok di mulut lo," Vano mengulurkan sebuah permen rasa mint kepada Fannya.

"Ga usah, gue punya," tolak gadis itu dan kembali mengabaikan tangan kanan Vano. Ia berlalu begitu saja tanpa peduli keberadaan Vano di sana, dan ia juga tak mengucapkan sepatah katapun.

"Kalo ada masalah cerita, jangan dipendam sendiri," teriak Vano ketika Fannya hampir menuruni satu anak tangga. Gadis itu menoleh, tapi tak menggubris, hanya menunjukkan wajah datarnya yang tanpa ekspresi.

===

Pagi ini Vano tidak masuk sekolah, ia harus manggantikan papanya selaku ketua komite SMA Nusa Jaya untuk melakukan peninjauan karena kondisinya yang kembali tidak membaik.

Vano yang mengenakan kemeja berwarna navy dengan lengan yang digulung setengah itu mendapat banyak tatapan dari siswi-siswi SMA Nusa Jaya. Sebagian dari mereka menatap kagum, juga tak sedikit yang terang-terangan menatapnya secara intens tanpa peduli harga diri. Tapi Vano tetaplah Vano, ia justru tambah berlagak pria paling tampan, bahkan sesekali sengaja merapikan rambutnya yang dapat menciptakan gumaman histeris dari siswi-siswi yang mengagumi ketampanannya.

Setelah insiden menangkap basah seorang siswi yang bolos di atap sekolah, ia turun ke lantai 2 lalu memasuki setiap kelas yang ada di sepanjang koridor. Sedikitpun ia tak berniat untuk memasukkan Fannya ke dalam buku kasus, meskipun ia berhak melakukannya. Vano hanya merasa Fannya sedang banyak masalah, maka kesalahannya kali ini dapat dimaafkan.

Setalah semua kelas dimasuki, ia kini menuju kelas 11 MIPA 1 yang ada di lantai 2. Ia ingin bertemu Luna di sana, sepupunya.

"Luna, kamu dipanggil Pak Avano, silahkan keluar," perintah guru yang tengah mengajar di kelas Luna setelah mendapat perintah dari Vano untuk memanggilkan Luna.

Tak lama, Luna keluar untuk menghampiri Vano.

"Ada apa?" tanyanya saat sudah berhadapan dengan Vano.

"Ada hal penting yang mau gue omongin sama lo, jadi nanti pulang sekolah gue jemput," pria itu bicara dengan santai sambil sesekali memperhatikan jam tangannya.

"Ga usah jemput, gue bawa mobil, ketemuan di cafe yang biasa aja," tolak Luna, "lo buru-buru ya?" Luna sedikit bingung melihat Vano yang tak lepas dari arlojinya.

"Iya, barusan Regil telpon, papa dibawa ke rumah sakit," katanya sedikit panik. Regil adalah adik Vano yang saat ini baru menduduki kelas 2 SMP.

"Ya udah, mending sekarang lo ke rumah sakit," titah Luna sambil menepuk pelan pundak Vano, ia bermaksud menyalurkan ketenangan dan menguatkan sepupunya itu.

Setelah percakapan singkat itu berlangsung, Vano akhirnya melangkah menjauhi kelas Luna. Ia berjalan sedikit tergesa menuju parkiran, tujuan utamanya saat ini adalah rumah sakit.

===

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 02, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Gravitasi HatiWhere stories live. Discover now