1 - Terlambat di Hari Pertama

5.5K 310 25
                                    

Tiana mengacaukan semuanya pagi ini. Bangun terlambat, kemudian tidak sengaja menjatuhkan sikat gigi ibunya ke toilet. Well, siapa pun tidak akan sudi memakai lagi sikat gigi itu meski sudah dicuci berkali-kali. Kamarnya juga berantakan; seprai, bantal, dan guling berada di beberapa sudut lantai. Saat bangun tidur dan menemukan jarum jam melewati waktu seharusnya ia bangun, panik menguasai dan ia segera melompat dari kasur.

"Bu, aku nggak sarapan. Udah terlambat," ujar Tiana di depan ibunya yang sedang memakan panekuk dengan tenang di meja makan.

"Sebentar, biar Ibu siapkan bekal." Wanita itu kemudian beranjak dan mengisi kotak bekal yang diambilnya dari lemari pantri dengan beberapa lembar panekuk.

Sementara menunggu Leah, Tiana membenahi penampilannya di depan pintu kaca lemari rak TV yang bisa memantulkan bayangan dirinya.

"Terima kasih, Bu. Ini hari pertama trial. Kepastian aku bakal jadi karyawan tetap di sana atau nggak, adalah enam bulan dari sekarang. Yang pasti, aku akan berusaha sebaik mungkin dan akan membeli sikat gigi baru buat Ibu sepulang kerja nanti." Tiana mengatakannya dengan bersungguh-sungguh setelah menerima kotak bekal yang Leah sodorkan padanya dan disimpan ke tas.

"Sikat gigi? Kenapa mau dibelikan? Ibu baru beli kemarin."

Mampus, pikir Tiana. Ia tidak bermaksud memberi tahu soal sikat gigi yang mendarat di lubang kloset, tetapi mulutnya tidak terkendali.

"Nggak papa. Aku berangkat, Bu. Udah telat." Tiana mengecup pipi kiri dan kanan Leah secepat kilat sebelum melesat keluar rumah. Ibunya orang yang sangat bersih dan cerewet, bukan tidak mungkin waktunya akan terbuang banyak untuk mendengar omelan wanita itu.

Tiana berjalan ke depan komplek sambil memesan taksi online. Sayangnya, ia tidak cukup beruntung karena tidak banyak sopir yang standby di dekat kompleknya. Ojek online? Tidak. Tiana punya kenangan buruk tentang sepeda motor. Dan setelah sepuluh menit menunggu, taksi yang dinantikannya tiba. Begitu duduk di bangku penumpang, Tiana memberi tahu tujuannya dan si sopir segera melaju.

Taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah gedung elite yang didominasi oleh kaca jendela. Tiana memberikan beberapa lembar uang pada si sopir dan segera keluar dari sana. Tatapannya tidak sedikit pun beralih dari betapa menjulangnya gedung tersebut. Mungkin ada sekitar empat belas atau lima belas lantai. Decakan kagum tidak henti-hentinya ia keluarkan. Ia merasa sangat beruntung diterima sebagai karyawan di perusahaan besar itu, tetapi tidak punya waktu untuk menikmati euforia karena baru di hari pertama, ia sudah terlambat.

Tiana berlari kecil menuju sebuah elevator yang terbuka setelah beberapa orang keluar dari sana. Saat ia akan menekan tombol lantai, seorang pria yang kira-kira seumurannya menerobos masuk. Pria itu cukup tampan hingga Tiana kesulitan untuk mengalihkan pandangan. Peluh yang mengalir di pelipis dan napas yang ngos-ngosan menjelaskan bahwa pria itu habis berlari.

"Ke lantai berapa?" Tiana memberanikan diri untuk bertanya, mengingat ia berdiri lebih dekat dengan tombol di elevator tersebut.

"Sepuluh." Pria itu membalas sekenanya.

Tiana mengangguk ringan dan menekan tombol angka sepuluh setelah tombol tujuh; tujuannya.

Selama elevator bergerak naik, Tiana melirik dinding elevator di sisi kanannya. Dinding yang berbahan aluminium itu memperlihatkan pantulan dirinya. Gaya berbusana tidak pernah jadi masalah bagi Tiana. Namun, itu tidak berlaku untuk saat ini. Apalagi setelah sadar bahwa pria di sampingnya mencuri-curi pandang dengan tatapan yang intens dan lumayan lama. Bisa saja ia tampak aneh karena penampilannya sekarang, 'kan?

Tiana sudah menelan ludah dua kali, berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman yang menyelimuti. Terlebih lagi, ia bukan tipe wanita yang suka diperhatikan, meski orang-orang sering menganggap porsi tubuhnya adalah representasi tubuh ideal yang dimimpikan banyak wanita; tinggi semampai dengan kaki jenjang. Untuk wajah, Tiana cukup manis berkat lesung pipitnya yang muncul samar-samar saat tersenyum dan bicara. Rambutnya lurus sepunggung berwarna hitam tanpa poni, dan itu sudah membingkai wajah segitiganya dengan sempurna.

Before (I Love You) ✔ [Cabaca.id]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang