2 - Di Luar Tugas

3.3K 257 14
                                    

Jujur saja, Tiana tidak ingin pusing membuat daftar kriteria yang harus ada pada pria tampan. Apa yang ia sebut tampan bukan dari berbagai aspek yang ada pada orang itu. Baginya, tampan adalah sesuatu yang indah dipandang mata; sesuatu yang tidak bisa diukur dari seberapa tebal alis orang itu, seberapa mancung hidungnya, seberapa mulus kulitnya, atau apa pun yang biasa menjadi tolok ukur ketampanan seseorang. Berkumis tipis atau tebal, jika Tiana tidak bisa berpaling lebih dari tiga detik, berarti orang itu tampan.

Gara-gara pertanyaan Lilian waktu itu, Tiana jadi memikirkannya. Bahkan tidak jarang ia akan memperhatikan Adrian lebih lama demi mencari alasan kenapa pria itu bisa disebut tampan. Namun, kembali lagi, semua itu bergantung pada mata Tiana sendiri.

Waktu rasanya sangat lambat berlalu. Hari ini semuanya akan terbayar; Tiana akan menerima gaji pertamanya. Seperti yang sudah dijanjikan bersama ketiga pegawai trial lainnya, pulang kerja nanti mereka akan makan malam bersama dan pergi ke bioskop. Ada film bagus yang sedang ditayangkan dan mereka tidak ingin melewatkannya.

"Aku sudah pesan tiket buat kita berempat," ujar Tio yang baru saja tiba di kursi dengan membawa nampan berisi semangkuk bakso dan segelas es teh bersama Ryan. "Dengan posisi duduk yang sempurna."

Tiana hanya mengangguk sebagai respons. Mulutnya masih sibuk mengunyah nasi goreng yang ia beli bersama Lilian tadi.

"Gajiku belum masuk rekening," celetuk Lilian, tersenyum miris pada layar ponselnya. "Tiket itu diskon, 'kan?" tanyanya pada Tio sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Ekspresinya dibuat-buat memelas agar kedua pria yang duduk di depannya itu mengiakan

"Diskon lima puluh persen." Jawaban Ryan membuat Lilian menyunggingkan senyum.

"Padahal—" Tio menjeda untuk menelan makanan di mulutnya. "—harga tiket bioskop di kota kita udah yang paling murah. Aku nggak tau kamu semiskin itu sampai mengharapkan diskon. Padahal hari ini kita gajian."

"Keperluan wanita lebih banyak daripada kalian para pria," sahut Lilian tidak senang.

Lilian mengernyit setelah menyadari apa yang ia ucapkan. Padahal ia benci membanding-bandingkan pria dan wanita yang jelas-jelas memiliki standar kebutuhan berbeda. Namun, untuk saat ini list kebutuhan yang harus segera dibeli memenuhi kepalanya. Lilian sampai tidak tahu harus bagaimana jika gajinya belum masuk ke rekening.

"Kalau yang kamu maksud adalah perawatan, jangan lupakan kalau kami perlu menabung buat ngelamar kalian," sahut Tio dengan nada mengejek. Ia mengikuti cara Lilian bicara dengan mata yang agak melotot karena kesal.

Tiana dan Ryan hanya diam memperhatikan. Bagian terbaiknya akan tiba; perdebatan antara Lilian dan Tio.

"Tapi kalian masih bisa menggunakannya sesekali kalau perlu." Lilian tidak mau kalah, ia meletakkan sendok-garpunya hanya untuk meladeni Tio. "Kami nggak bisa begitu."

"Maksudmu wanita nggak bisa menyisihkan uang?"

Kedua alis Lilian menukik karena pertanyaan Tio. Emosinya tersulut, padahal ia sendiri tidak bermaksud untuk berkata begitu. Tio sering kali salah memaknai apa yang Lilian katakan hingga membuat mereka sering berdebat. Namun, itu tidak pernah berlangsung lama. Biasanya hanya dengan pengalihan topik sudah bisa membuat keduanya akur kembali.

"Coba bilang sekali lagi?" Saking kesalnya, Lilian sampai berdiri dari kursinya. Melihat itu Tio jadi memundurkan badan bersama kursi yang ia duduki, sekaligus berancang-ancang untuk kabur jika Lilian melibatkan perlawanan fisik.

"Guys," tegur Ryan. Atensi mereka bertiga pun beralih padanya. "Itu Adrian, 'kan?" Ia menunjuk seorang pria yang duduk di pojok kantin. Ryan menyipitkan matanya untuk memastikan bahwa yang ia lihat itu benar adalah Adrian. Menderita rabun jauh ringan, tetapi tidak ingin memakai kacamata memang merepotkan.

Before (I Love You) ✔ [Cabaca.id]Where stories live. Discover now