8 | B a g a s k a r a

277 17 0
                                    

Melihatmu dekat dengannya rasanya ingin marah, tapi ketika di hadapanmu saya lebih memilih mengalah. Rasanya ingin menangis, tapi apa daya saya tak mampu menyuarakan hati yang kian teriris. Saya tetap menyayangimu meski saya harus terluka karenamu.

"SESUAI PERATURAN YANG ADA, SAYA MENGINFORMASIKAN BAHWA HARI INI ADALAH BABAK FINAL TURNAMEN SEPAK BOLA YANG DIADAKAN SMA PANCASILA TIAP TAHUNNYA. MOHON YANG BERKEPENTINGAN SEGERA BERKUMPUL DI AULA."

Selepas pemberitahuan via speaker sekolah itu, yang merasa berkepentingan segera beranjak dari tempatnya, termasuk salah seorang siswa bertubuh jangkung, Althaf Bagaskara. Bagai peserta yang lolos audisi, lelaki itu dengan cekatan segera mengemasi barang-barangnya dan cepat-cepat datang ke aula sebelum kawannya yang lain datang lebih dulu.

"Senang kamu bisa keluar di jam pelajaran saya, Althaf," sembur Pak Latif selaku guru Ekonomi.

Merasa tersindir, lelaki itu menampilkan cengiran andalannya. "Yah gimana lagi, Pak. Sebenarnya saya tidak ingin meninggalkan pelajaran Bapak, tapi kan-- duh gimana ya, Pak?"

"Halah bisa saja. sana cepat ke aula."

"Siap, Bapak."

Beberapa anak telah sampai di aula lebih dulu daripada sang kapten, Althaf. Bahkan beberapa dari mereka telah mengganti seragam putih abu-abunya dengan jersey lengkap dengan atribut lain, termasuk celana pendek, kaos kaki, serta pelindung tulang kaki yang selaras, tak terkecuali sepatu kebanggaan mereka.

"Ye si mamank. Kapten datangnya telat!" protes Aldo yang tengah sibuk memasukkan pelindung tulang kering ke dalam kaos kakinya.

"Habis adu argumen tadi sama pak Latif," jawab Alva selaku teman sekelas Althaf serta salah satu saksi bisu yang menyaksikan keduanya beradu argumen.

"Althaf apakah sudah di sini?" Suara bariton milik Pak Eric menggelegar di seisi aula yang lebar.

"Saya, Pak!" seru Althaf.

Pak Eric mencari keberadaan suara itu hingga sorot matanya berhenti di tengah kerumunan anak-anak didiknya. "Armband kebanggan saya sewaktu menjadi kapten," ucapnya sembari melempar benda kecil itu ke arah Althaf.

Althaf tersenyum, untuk yang kesekian kalinya ia tersenyum bangga pada diri sendiri. "Untuk saya?" tanyanya selepas menangkap lemparan bebas tersebut.

Pak Eric menaikkan kedua alisnya bersamaan dengan anggukan antusiasnya, "Ya! Armband keberutungan saya dulu sewaktu bertanding. Percaya gak percaya, tiap saya pakai armband itu, tim saya selalu menang."

"Percaya aja deh, Pak, saya mah," celetuk Aldo yang telah selesai memakai pelindung tulang keringnya.

"Gampang banget percaya sama orang lo, Kak. Pantesan sering dimanfaatin cewek," sambar salah seorang anak kelas sepuluh.

"Dih kurang ajar nih anak kecil," balas Aldo tak ingin kalah.

"Udah gak perlu sok bela diri, emang bener kok yang dibilang Dave. Ya nggak, Dave?" bela Alan ikut-ikutan.

"Yoi, Kak!"

Merasa pelatihnya itu masih berdiri pada tempatnya membuat Aldo butuh pembelaan. "Pak, saya merasa dibully nih, Pak," mohon Aldo dengan ekspresi memelasnya.

"Sudah sudah. Saya tunggu di parkiran guru, kita berangkat sama-sama pakai mobil sekolah," tutur Pak Eric sebelum benar-benar meninggalkan aula, "oh ya, Aldo. Jangan mudah percaya sama orang, udah ratusan kali dimanfaatin masih aja nagih," lanjutnya disertai gelak tawa siapa pun yang mendengarnya.

***

Beberapa menit di perjalanan menuju SMA Pancasila, akhirnya mobil sekolah yang dibawa untuk mengangkut kesebelasan SMA Garuda tiba di tempat tujuan. Dikarenakan mobil hanya cukup untuk mengangkut beberapa anak saja, membuat sang kapten dan beberapa anak yang lain membawa kendaraannya sendiri-sendiri.

BAGASKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang