b a g i a n 21

4.1K 478 59
                                    

Satu minggu setelah kejadian melihat Flavia tampil di depan panggung dengan biolanya, Zion jadi tidak tenang. Ia jadi takut keluar rumah padahal Zion merencanakan liburannya di sini jauh sebelum liburan itu sendiri tiba. Tapi sekarang, Zion lebih memilih untuk sendirian di rumah sedangkan anggota keluarganya yang lain sedang jalan-jalan.

Sikap Zion memang seperti biasanya, tapi pikirannya selalu melayang pada kejadian hari itu. Kembali membayangkan Flavia dengan gaun itu, menggesek biola dengan mata yang terpejam. Zion tidak bisa berhenti memikirkannya. Tapi Zion sama sekali tidak menyesal meninggalkan Flavia di sana sedangkan ia kembali ke rumah.

Zion belum siap bertemu dengan Flavia. Dan mungkin Flavia juga begitu.

"Zion, bisa temenin Kakak ke supermarket?"

Suara Laura menyadarkan Zion dari lamunannya, ia menatap Laura yang sudah rapih dengan pakaiannya dengan kantong belanja di tangannya.

"Kak," Zion memelas menatap Laura.

Sedari kemarin Laura selalu memaksa Zion untuk keluar dari rumah. Laura tau, alasan Zion tidak ingin keluar rumah dan memilih untuk mengurung diri di kamarnya adalah Flavia.

Saat itu, Laura sedang berkeliling kota Bogor sendirian, hendak mencari keperluan untuk anaknya, tapi matanya tiba-tiba menangkap spanduk pertunjukkan orkestra dan tampil solo. Setelah mencari tau lebih dalam, Laura tersenyum senang saat mengetahui Flavia yang menjadi pemain biola itu.

Laura yakin, saat melihat spanduk itu, ini adalah takdir Zion, yang dipertemukan kembali dengan Flavia.

Kembalinya Zion dari pertunjukan itu, Zion lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar sendirian lalu melamun. Bahkan sesekali Zion mogok untuk makan. Jika Laura tidak memaksanya untuk makan, Zion tidak akan pernah menyentuh makanan.

Laura tertawa kecil, mengusap bahu Zion lembut. "Kakak tunggu di luar. Ganti baju, biar ganteng. Siapa tau ketemu cewek cantik di luar, nggak jomblo lagi deh."

Zion menghembuskan nafasnya kasar saat Laura sudah menutup pintu. Mau tidak mau, Zion harus menemani Laura karna Rayyan sudah memberinya amanah untuk menjaga Istrinya dan bila Laura mengadu yang tidak-tidak, bisa habis Zion. Zion beranjak dari kasurnya, mengambil jaket bombernya dan keluar dari kamar. Ia menghampiri Laura yang sedang tersenyum lebar.

"Siap nggak siap, Yon."

Zion menghela nafasnya berat. Ia juga tidak yakin bisa berpapasan dengan Flavia di kota yang besar ini. "Ya, siap nggak siap."

Entah mengapa, perjalanan dari rumah menuju kota terasa sangat cepat. Padahal perjalanan mengambil waktu 30 menit, tapi Zion merasa mereka hanya membutuhkan waktu 3 menit untuk sampai di kota.

Zion turun dari mobil, mengekori Laura yang sedang berjalan di depannya, melihat apa saja keperluan yang harus dibeli. Setengah jam kemudian, Laura mendorong troli yang berisi belanjaan mereka menuju kasir. Sembari menunggu antrian, Laura sesekali menggoda Zion yang sedang menatap sekitarnya tidak tenang.

Bagaimana jika tiba-tiba mereka bertemu di sini? Bagaimana jika Flavia melihatnya sedari tadi Zion masuk ke dalam supermarket ini.

"Yon," panggil Laura membuat Zion berdehem, Laura menarik lengan Zion, "kamu ngalangin jalannya orang."

Zion tersenyum kikuk, menunduk sopan pada orang di belakangnya lalu menunggu di pintu. Buru-buru Zion mengambil alih tas belanjaan Laura lalu berlari masuk ke dalam mobil.

Laura yang bisa melihat itu hanya tertawa kecil. Ia duduk di kursi penumpang samping Zion. Lalu menunjuk salah satu pedagang kaki lima di pinggir jalan.

"Berenti di sini!" Laura buru-buru melepaskan sest beltnya, "Kakak mau nyobain laksa Bogor."

Zion menghela nafasnya, bukan Laura namanya bila tidak seperti ini. Laura bahkan menghalalkan berbagai cara agar Adik iparnya ini tidak melamun sendirian di kamar lagi. "Kan udah sering?" tanya Zion dengan nada frustasinya.

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang